Sabtu, 20 Februari 2010

Mengenal Lebih Dekat Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)

Pengantar:
Tulisan berikut ini diambilkan dari suntingan makalah TOT Manajemn Efektif dan Pembelajaran Aktif Dosen PTAIN se-Indonesia di UIN Yogyakarta tahun 2004. Membaca gagasan dalam tulisan ini kita akan mendapatkan penjelasan yang memdai tentang Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Esensi dari munculnya KBK adalah sejalan dengan makna arus pembaharuan pendidikan dan pembelajaran yang selalu dilaksanakan dari waktu ke waktu dan tak pernah berhenti. Pendidikan dan pembelajaran berbasis kompetensi merupakan contoh hasil perubahan dimaksud dengan tujuan untuk meningkatkan kulitas pendidikan dan pembelajaran. Apa dan bagaimaimana selanjutnya dapat mengikuti alur fikiran dalam tulisan ini (Gja).
 
Masa depan kita ditandai dan dibanjiri oleh informasi tehnologi dan juga perubahan yang amat cepat (massif). Hal ini dikarenakan masyarakat dunia telah terjangkiti oleh revolusi di bidang ilmu, teknologi dan seni, serta arus globalisasi, sehingga menuntut kesiapan semua pihak untuk menyesuaikan dengan kondisi yang ada. Artinya kita harus mampu menghadapi masyarakat yang sangat kompleks dan global.
Dalam konteks inilah pembaharuan dalam bidang pendidikan dan pembelajaran selalu dilaksanakan dari waktu ke waktu dan tak pernah henti (never ending process). Pendidikan dan pembelajaran berbasis kompetensi merupakan contoh hasil perubahan dimaksud dengan tujuan untuk meningkatkan kulitas pendidikan dan pembelajaran.
 
Pendidikan berbasis kompetensi menekankan pada kemampuan yang harus dimiliki oleh lulusan suatu jenjang pendidikan. Kompetensi yang sering disebut dengan standar kompetensi adalah kemampuan yang secara umum harus dikuasai lulusan. Kompetensi menurut Hall dan Jones (1976: 29) adalah “pernyataan yang menggambarkan penampilan suatu kemampuan tertentu secara bulat yang merupakan perpaduan antara pengetahuan dan kemampuan yang dapat diamati dan diukur”. Kompetensi (kemampuan) lulusan merupakan modal utama untuk bersaing di tingkat global, karena persaingan yang terjadi adalah pada kemampuan sumber daya manusia. Oleh karena. itu, penerapan pendidikan berbasis kompetensi diharapkan akan menghasilkan lulusan yang mampu berkompetisi di tingkat global. Implikasi pendidikan berbasis kompetensi adalah pengembangan silabus dan sistem penilaian berbasiskan kompetensi.
 
Paradigma pendidikan berbasis kompetensi yang mencakup kurikulum, pembelajaran, dan penilaian, menekankan pencapaian hasil belajar sesuai dengan standar kompetensi. Kurikulum berisi bahan ajar yang diberikan kepada siswa/mahasiswa melalui proses pembelajaran. Proses pembelajaran dilaksanakan dengan menggunakan prinsip-prinsip pengembangan pembelajaran yang mencakup pemilihan materi, strategi, media, penilaian, dan sumber atau bahan pembelajaran. Tingkat keberhasilan belajar yang dicapai siswa/mahasiswa dapat dilihat pada kemampuan siswa/mahasiswa dalam menyelesaikan tugas-tugas yang harus dikuasai sesuai dengan staniar prosedur tertentu.

PENGEMBANGAN KURIKULUM

Kurikulum dapat dimaknai sebagai: suatu dokumen atau rencana tertulis mengenai kuahtas pendidikan yang harus dimiliki oleh peserta didik melalui suatu pengalaman belajar. Pengertian ini mengandung arti bahwa kurikulum harus tertuang dalam satu atau beberapa dokumen atau rencana tertulis. Dokumen atau rencana tertulis itu berisikan pernyataan mengenai kuahtas yang harus dimiliki seorang peserta didik yang mengikuti kurikulum tersebut aspek lain dari makna kurikulum adalah pengalaman belajar. Pengalaman belajar di sini dimaksudkan adalah pengalaman belajar yang dialami oleh peserta didik seperti yang direncanakan dalam dokumen tertuhs. Pengalaman belajar peserta didik tersebut adalah konsekuensi langsung dari dokumen tertulis yang dikembangkan oleh dosen/instruktur/pendidik. Dokumen tertulis yang dikembangkan dosen ini dinamakan Rencana Perkuliahan/Satuan Pembelajaran. Pengalaman belajar ini memberikan dampak langsung terhadap hasil belajar mahasiswa. Oleh karena itu jika pengalaman belajar ini tidak sesuai dengan rencana tertulis maka hasil belajar yang diperoleh peserta didik tidak dapat dikatakan sebagai hasil dari kurikulum.
 
Ada enam dimensi pengembangan kurikulum untuk pendidikan tinggi yaitu pengembangan ide dasar untuk kurikulum, pengembangan program, rencana perkuliahan/satuan pembelajaran, pengalaman belajar, penilaian dan hasil. Keenam dimensi tersebut dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu Perencanaan Kurikulum, Implementasi Kurikulum, dan Evaluasi Kurikulum. Perencanaan Kurikulum berkenaan dengan pengernbangan Pokok Pikiran/Ide kurikulum dimana wewenang menentukan ada pada pengambil kebijakan urtuk suatu lembaga pendidikan. Sedangkan Implementasi kurikulum berkenaan dengan pelaksanaan kurikulum di lapangan (lembaga pendidikan/kelas) dimana yang menjadi pengembang dan penentu adaIah dosen/tenaga kependidikan. Evaluasi KurikuIum merupakan kategori ketiga dimana kurikulum dinilai apakah kurikulum memberikan hasil yang sesuai dengan apa yang sudah dirancang ataukah ada masalah lain baik berkenaan dengan salah satu dimensi ataukah keseluruhannya. Dalam konteks ini evaluasi kurikulum dilakukan oleh tim di luar tim pengembang kurikulum dan dilaksanakan setelah kurikulum dianggap cukup waktu untuk menunjukkan kinerja dan prestasinya.
 
KBK Untuk PENDIDIKAN TINGGI

Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Vomor 232/U/2000 Mail menetapkan Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa. Dalam Surat Keputusan tersebut dikemukakan struktur kurikulum. berdasarkan tujuan belajar (1) Learning to know, (2) learning to do, (3) learning to live together, dan (4) learning to be. Bersasarkan pemikiran tentang tujuan belajar tersebut maka mata kuliah dalam kurikulum perguruan tinggi dibagi atas 5 kelompok yaitu: (1) Mata. kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) (2) Mata Kuliah Keilmuan Dan Ketrampilan (MKK) (3) Mata Kuliah Keahlian Berkarya (MKB) (4) Mata Kuliah Perilaku Berkarya (MPB), dan (5) Mata Kuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB).
 
Sedangkan Surat Keputusan Mendiknas nomor 045/U/2002. tentang Kurikulum Inti Perguruan Tinggi mengemukakan “Kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu”.
 
Dengan demikian, dapat didefinisikan bahwa Kurikulum berbasis kompetensi (KBK) adalah kurikulum yang pada tahap perencanaan, terutama dalam tahap pengembangan ide akan dipengaruhi oleh kemungkinan-kemungkinan pendekatan, kompetensi dapat menjawab tantangan yang muncul. Artinya, pada waktu mengembangkan atau mengadopsi pemikiran kurikulum berbasis kompetensi maka pengembang kurikulum harus mengenal benar landasan filosofi, kekuatan dan kelemahan pendekatan kompetensi dalam menjawab tantangan, serta jangkauan validitas pendekatan tersebut ke masa depan. Harus diingat bahwa kompetensi bersifat terus berkembang sesuai dengan tuntutan dunia kerja atau dunia profesi maupun dunia ilmu.
SK Mendilmas nomor 045 tahun 2002 ini memperkuat perlunya pendekatan KBK dalam pengembangan kurikulum pendidikan tinggi. Bahkan dalam SK Mendiknas 045 pasal 2 ayat (2) dikatakan bahwa kelima kelompok mata kuliah yang dikemukakan dalam SK nomor 232 adalah merupakan elemen-elemen kompetensi.
Selanjutnya, keputusan tersebut menetapkan pula arah pengembangan program yang dinamakan dengan kurikulum inti dan kurikulum institusional. Jika diartikan melalui keputusan nornor 045 maka kurikulum inti berisikan kompetensi utama sedangkan kurikulum institusional berisikan kompetensi pendukung dan kompetensi lainnya.

Kurikulum inti yang merupakan penciri kompetensi utama, bersifat:
a.    dasar untuk mencapai kompetensi lulusan
b.    acuan baku minimal mutu penyelenggaraan program studi
c.    berlaku secara. nasional dan internasional
d.    lentur dan akomodatif terhadap perubahan yang sangat cepat di masa mendatang, clan
e.    kesepakatan bersama antara kalangan perguruan tinggi, masyarakat profesi, dan pengguna lulusan

Sedangkan Kurikulurn institusional berisikan kompetensi pendukung serta kompetensi lain yang bersifat khusus dan gayut dengan kompetensi utama.
Implementasi Kurikulum
Dalam rangka implementasi KBK di perguruan Tinggi, maka hendaknya kita memperlakukan kelima kelompok mata kuliah tersebut sebagai kelompok kompetensi. Dengan demikian maka setiap mata kuliah harus menjabarkan, kompetensi yang dikembangkan mata kuliah tersebut sehingga setiap mata kuliah memiliki matriks kompetensi. Setelah itu dapat dikembangkan matriks yang menggambarkan sumbangan setiap mata kuliah terhadap kelima, kategori kompetensi.

Dengan adanya kurikulum berbasis kompetensi maka sistem penilaian hasil belajar haruslah berubah. Ciri utama perubahan penilaiannya adalah terletak pada pelaksanaan penilaian yang berkelanjutan serta komprehensif, yang mencakup aspek-aspek berikut:
a. Penilaian hasil belajar
b. Penilaian proses belajar mengajar
c. Penilaian kompetensi mengajar dosen
d. Penilaian relevansi kurikulum
e. Penilaian daya dukung sarana. dan fasilitas
f. Penilaian program (akreditasi)

Sementara itu strategi yang dapat digunakan adalah:
•    Mengartikulasikan standar dan desain penilaian di lingkungan pendidikan pendidikan tinggi.
•    Mengembangkan kemampuan dosen untuk melakukan dan memanfaatkan proses pernbelajaran
•    Mengembangkan kemampuan subyek didik untuk memanfaatkan hasil penilaian dalam meningkatkan efektifitas belajar mereka
•    Memantau dan menilai dampak jangka panjang terhadap proses dan hasil belajar.

Memang untuk dapat mengembangkan dan mengimplementasikan KBK ini dengan baik sejumlah komponen perlu terlibat secara intens dan memberikan perannya masingmasing sesuai dengan kapasitasnya, antara lain:
a.    Visi dan Misi kelembagaan dan kepemimpinan yang berorientasi kualitas dan akuntabilitas serta peka terhadap dinamika pasar.
b.    Partisipasi seluruh sivitas akademika (dosen, naahasiswa) dalam bentuk “shared vision” dan “mutual commitment” untuk optimasi kegiatan pembelajaran.
c.    Iklim dan kultur akademik yang kondusif untuk proses pengembangan yang berkesinambungan.
d.    Keterlibatan kelompok masyarakat pemrakarsa (stakeholders) serta masyarakat pengguna lulusan itu sendiri.

MENYONGSONG PERSIAPAN KURIKULUM 2004

Dengan akan segera diluncurkannya (lounching) Kurikulum 2004—yang mungkin pelaksanaannya masih tentatif—yakni kurikulum yang lebih dikenal dengan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) pada seluruh jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan dasar, pendidikan menengah dan bahkan untuk pendidikan tinggi yang sudah diluncurkan sejak tahun 2000, tentu banyak menimbulkan masalah baru, lebih-lebih bila dikaitkan dengan pelaksanaan pembelajaran di masing-masing mata kuliah/pelajaran. Para guru, sebagai ujung tombak dari kegiatan pendidikan, perlu memahami secara mendalami tentang konsep dasar Kurikulum Berbasis 
Kompetensi, dalam arti: apa makna hakiki dari KBK, kemana trend KBK harus dibawa/dikembangkan, apa saja komponen yang harus ada, dan bagaimana mengembangkannya, dsb. Lebih-lebih jika dikaitkan dengan era otonomi daerah di mana kewenangan-kewenangan pusat semakin dikurangi, sementara kewenangan daerah menjadi semakin besar dan luas. Sudah barang tentu era otonomi daerah ini juga membawa dampak yang cukup luas, termasuk tentunya untuk bidang pendidikan.
Di era otonomi seperti sekarang ini kurikulum pendidikan yang belaku secara, nasional bukanlah suatu “harga mati” yang harus diterima dan dilaksanakan apa adanya, melainkan masih dapat dikembangkan sesuai dengan situasi dan kondisi lapangan, sepanjang tidak menyimpang dari pokok-pokok yang telah digariskan secara, nasional. Dalam hal ini guru/dosen adalah pengembang kurikulum yang berada, dalam kedudukan yang menentukan dan strategis. Jika kurikulum diibaratkan sebagai rambu-rambu lalu lintas, maka guru adalah pejalan kakinya.

Dengan asumsi bahwa gurulah yang paling tahu mengenai tingkat perkembangan peserta didik, perbedaan perorangan (individual) siswa, daya serap, suasana dalam. kegiatan pembelajaran, serta sarana dan sumber yang tersedia, maka guru berwenang untuk menjabarkan dan mengembangkan kurikulum kedalam, silabus pengembangan kurikulum kedalam. silabus ini hendaknya mendasarkan pada beberapa hal, di antaranya: isi (konten), konsep, kecakapan/keterampilan, masalah, serta minat siswa/mahasiswa.
Sesuai dengan jiwa otonomi dalam bidang pendidikan seperti pada Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000, bidang pendidikan dan kebudayaan, pemerintah memiliki wewenang menetapkan: (1) standar kompetensi siswa dan warga belajar serta pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar secara nasional serta pedoman pelaksanaannya, dan (2) standar materi pelajaran pokok.
Kurikulum berbasis kompetensi merupakan suatu desain kurikulum yang dikembangkan berdasarkan seperangkat kompetensi tertentu. Mengacu pada pengertian tersebut, dan juga untak merespons terhadap keberadaan PP No.25/2000, maka salah satu kegiatan yang perlu dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini Depdiknas adalah menyusun standar nasional untuk seluruh mata pelajaran, yang mencakup komponen-komponen; (1) standar kompetensi, (2) kompetensi dasar, (3) materi pokok, dan (4) indikator pencapaian. Sesuai dengan komponen-komponen tersebut maka format Kurikulum 2004 yang memuat standar kompetensi nasional matapelajaran adalah seperti tampak pada

Standar kompetensi diartikan sebagai kebulatan pengetahuan, keterampilari, sikap, dan tingkat penguasaan yang diharapkan dicapai dalam mempelajari suatu matapelajaran. Cakupan standar kompetensi standar isi (content standard) dan standar penampilan (performance standard). Kompetensi dasar, merupakan jabaran dari standar kompetensi, adalah pengetahuan, keterampilan dan sikap minimal yang harus dikuasai dan dapat diperagakan oleh siswa pada masing-masing standar kompetensi. Materi pokok atau materi pembelajaran, yaitu pokok suatu bahan kajian yang dapat berupa bidang ajar, isi, proses, keterampilam, serta konteks keilmuan suatu mata pelajaran. Sedangkan indikator pencapaian dimaksudkan adalah kemampuan-kemampuan yang lebih spesifik yang dapat dijadikan sebagai ukuran untuk menilai ketuntasan belajar.
Selanjutnya pengembangan kurikulum 2004, yang ciri paradigmanya adalah berbasis kompetensi, akan mencakup pengembangan silabus dan sistem penilaiannya. Silabus merupakan acuan untuk merencanakan dan melaksanakan program pembelajaran, sedangkan sistem penilaian mencakup jenis tagihan, bentuk instrumen, dan pelaksanaannya. jenis tagihan adalah berbagai tagihan, seperti ulangan atau tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh peserta didik. Bentuk instrumen terkait dengan jawaban yang harus dilakukan oleh siswa, seperti bentuk pilihan ganda atau soal uraian.
 
Pengembangan kurikulum 2004 harus berkaitan dengan tuntutan standar kompetensi, organisasi pengalaman belajar, dan aktivitas untuk mengembangkan dan menguasai kompetensi seefektif mungkin. Proses pengembangan kurikulum berbasis kompetensi juga menggunakan asumsi bahwa siswa yang akan belajar telah memiliki pengetahuan dan keterampilan awal yang dibutuhkan untuk menguasai kompetensi tertentu. Oleh karenanya pengembangan Kurikulum 2004 perlu memperhatikan prinsip-prinsip berikut:
1.    Berorientasi pada pencapaian hasil dan dampaknya (outcome oriented)
2.    Berbasis pada Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
3.    Bertolak dari Kompetensi Tamatan/ Lulusan
4.    Memperhatikan prinsip pengembangan kurikulum yang berdfferensiasi
5.    Mengembangkan aspek belajar secara utuh dan menyeluruh (holistik), serta
6.    Menerapkan prinsip ketuntasan belajar (mastery learning).(Gja,Aal, Mb).

sumber: (http://www.ditpertais.net/swara/warta18-05.asp

KODE ETIK GURU INDONESIA

Persatuan Guru Republik Indonesia menyadari bahwa Pendidikan adalah merupakan suatu bidang Pengabdian terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Bangsa dan Tanah Air serta kemanusiaan pada umumnya dan …….Guru Indonesia yang berjiwa Pancasila dan Undang –Undang Dasar 1945 . Maka Guru Indonesia terpanggil untuk menunaikan karyanya sebagai Guru dengan mempedomani dasar –dasar sebagai berikut :
1.    Guru berbakti membimbing anak didik seutuhnya untuk membentuk manusia pembangun yang berjiwa Pancasila
2.    Guru memiliki kejujuran Profesional dalam menerapkan Kurikulum sesuai dengan kebutuhan anak didik masing –masing .
3.    Guru mengadakan komunikasi terutama dalam memperoleh informasi tentang anak didik , tetapi menghindarkan diri dari segala bentuk penyalahgunaan .
4.    Guru menciptakan suasana kehidupan sekolah dan memelihara hubungan dengan orang tua murid sebaik –baiknya bagi kepentingan anak didik
5.    Guru memelihara hubungan dengan masyarakat disekitar sekolahnya maupun masyarakat yang luas untuk kepentingan pendidikan .
6.    Guru secara sendiri – sendiri dan atau bersama – sama berusaha mengembangkan dan meningkatkan mutu Profesinya .
7.    Guru menciptakan dan memelihara hubungan antara sesama guru baik berdasarkan lingkungan maupun didalam hubungan keseluruhan .
8.    Guru bersama –sama memelihara membina dan meningkatkan mutu Organisasi Guru Profesional sebagai sarana pengapdiannya.
9.    Guru melaksanakan segala ketentuan yang merupakan kebijaksanaan Pemerintah dalam bidang Pendidikan.

Ciri-Ciri Guru Yang Baik/Efektif

John Goodlad, seorang tokoh pendidikan Amerika Serikat, pernah melakukan penelitian yang hasilnya menunjukkan bahwa peran guru amat signifikan bagi setiap keberhasilan proses pembelajaran.
 
Penelitian itu kemudian dipublikasikan dengan titel: Behind the Classroom Doors, yang di dalamnya dijelaskan bahwa ketika para guru telah memasuki ruang kelas dan menutup pintu-pintu kelas itu, maka kualitas pembelajaran akan lebih banyak ditentukan oleh guru. Hal ini sangat masuk akal, karena ketika proses pembelajaran berlangsung, guru dapat melakukan apa saja di kelas. Ia dapat tampil sebagai sosok yang menarik sehingga mampu menebarkan virus nAch (needs for achievement) atau motivasi berprestasi, jika kita meminjam terminologi dari teorinya McCleland. Di dalam kelas itu seorang guru juga dapat tampil sebagai sosok yang mampu membuat siswa berpikir divergent dengan memberikan berbagai pertanyaan yang jawabnya tidak sekedar terkait dengan fakta, ya-tidak. Seorang guru di kelas dapat merumuskan pertanyaan kepada siswa yang memerlukan jawaban secara kreatif, imajinatif – hipotetik, dan sintetik (thought provoking questions).
 
Sebaliknya, dengan otoritasnya di kelas yang begitu besar itu, bagi seorang guru juga tidak menutup kemungkinan untuk tampil sebagai sosok yang membosankan, instruktif, dan tidak mampu menjadi idola bagi siswa di kelas. Bahkan dia juga bisa berkembang ke arah proses pembelajaran yang secara tidak sadar mematikan kreativitas, menumpulkan daya nalar, mengabaikan aspek afektif, dan dengan demikian dapat dimasukkan ke dalam kategori banking concept of education-nya Paulo Friere, atau learning to have-nya Eric From. Pendek kata, untuk melindungi kepentingan siswa, dan juga untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM) di daerah dalam jangka panjang di masa depan, guru memang harus profesional dan efektif di kelasnya masing-masing ketika ia harus melakukan proses belajar-mengajar.
Menurut Gary A. Davis dan Margaret A. Thomas, paling tidak ada empat kelompok besar ciri-ciri guru yang efektif. Keempat kelompok itu terdiri dari:

Pertama, memiliki kemampuan yang terkait dengan iklim belajar di kelas, yang kemudian dapat dirinci lagi menjadi (1) memiliki keterampilan interperso-nal, khususnya kemampuan untuk menunjukkan empati, penghargaan kepada siswa, dan ketulusan; (2) memiliki hubungan baik dengan siswa; (3) mampu menerima, mengakui, dan memperhatikan siswa secara tulus; (4) menunjukkan minat dan antusias yang tinggi dalam mengajar; (5) mampu menciptakan atmosfir untuk tumbuhnya kerja sama dan kohesivitas dalam dan antar kelompok siswa; (6) mampu melibatkan siswa dalam meng-organisasikan dan merencanakan kegiatan pembelajaran; (7) mampu mendengarkan siswa dan menghargai hak siswa untuk berbicara dalam setiap diskusi; (8) mampu meminimal-kan friksi-friksi di kelas jika ada.

Kedua, kemampuan yang terkait dengan strategi manajemen pembelajaran, yang meliputi: (1) memiliki kemampuan untuk menghadapi dan menangani siswa yang tidak memiliki perhatian, suka menyela, mengalihkan pembicaraan, dan mampu memberikan transisi substansi bahan ajar dalam proses pembelajaran; (2) mampu bertanya atau memberikan tugas yang memerlukan tingkatan berpikir yang berbeda untuk semua siswa.

Ketiga, memiliki kemampuan yang terkait dengan pemberian umpan balik (feedback) dan penguatan (reinforcement), yang terdiri dari: (1) mampu memberikan umpan balik yang positif terhadap respon siswa; (2) mampu memberikan respon yang bersifat membantu terhadap siswa yang lamban belajar; (3) mampu memberikan tindak lanjut terhadap jawaban siswa yang kurang memuaskan; (4) Mampu memberikan bantuan profesional kepada siswa jika diperlukan.

Keempat, memiliki kemampuan yang terkait dengan peningkatan diri, terdiri dari: (1) mampu menerapkan kurikulum dan metode mengajar secara inovatif; (2) mampu mem-perluas dan menambah pengetahuan mengenai metode-metode pengajaran; (3) mampu memanfaatkan perencanaan guru secara kelompok untuk menciptakan dan mengembang-kan metode pengajaran yang relevan. -

Menurut Brooks & Brooks (Iim Waliman, dkk. 2001) terdapat beberapa ciri yang menggambarkan seorang guru yang konstruktivis dalam melaksanakan proses pembelajaran siswa, yaitu:
1.    Guru mendorong, menerima inisiatif dan kemandirian siswa.
2.    Guru menggunakan data mentah sebagai sumber utama pada fokus materi pembelajaran.
3.    Guru memberikan tugas-tugas kepada siswa yang terarah pada pelatihan kemampuan mengklasifikasi, menganalisis, memprediksi, dan menciptakan.
4.    Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menguraikan isi pelajaran dan mengubah strategi belajar mengajar.
5.    Guru melakukan penelusuran pemahaman siswa terhadap suatu konsep sebelum memulai pembelajaran.
6.    Guru mendorong terjadinya dialog dengan dan antar siswa.
7.    Guru mendorong siswa untuk berfikir, melalui pertanyaan-pertanyaan terbuka dan mendorong siswa untuk bertanya sesama teman.
8.    Guru melakukan elaborasi respon siswa siswa, baik yang sudah benar maupun yang belum benar.
9.    Guru melibatkan siswa pada pengalaman yang menimbulkan kontradiksi dengan hipotesis siswa dan mendiskusikannya.
10.    Guru memberikan waktu berfikir yang cukup bagi siswa dalam menjawab pertanyaan
11.    Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencoba menghubungkan beberapa hal yang dipelajari untuk meningkatkan pemahaman.
12.    Guru di akhir pembelajaran memfasilitasi proses penyimpulan melalui acuan yang benar.

Sumber :
Iim Waliman, dkk. 2001. Pengajaran Demokratis (Modul Manajemen Berbasis Sekolah). Bandung : Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat

Para ahli dan cendikian Islam telah menetapkan beberapa ciri seorang guru yang baik. Dengan ciri-ciri berikut, seorang guru diharapkan dapat menjadi guru yang ahli di bidangnya. Ciri-ciri tersebut adalah:

Ikhlas dalam Mengemban Tugas sebagai Pengajar
Ia harus mempunyai falsafah hidup bahwa tugasnya tersebut merupakan bagian dari ibadah. Tentu saja suatu ibadah tidak akan diterima Allah bila tidak disertai dengan keikhlasan. Amat jauh perbedaan antara seorang guru yang ikhlas dan saleh dengan seorang guru yang munafik. Seorang pelajar biasanya dapat berprestasi karena keikhlasan dan kesalehan gurunya. Hal itu telah dijamin oleh Allah dalam firman-Nya berikut: “Hendaklah kalian menjadi orang-orang yang rabbani (orang yang sempurna ilmu dan takwanya kepada Allah), karena kalian selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kalian tetap mempelajarinya,” (QS Ali Imran [3]: 79).

Memegang Amanat dalam Menyampaikan Ilmu
Bagi seorang guru, ilmu merupakan amanat dari Allah yang harus disampaikan kepada anak didiknya dengan tanpa ada yang dikurangi. Ia juga harus menyampaikannya sebaik dan sesempurna mungkin. Jika ada seorang guru menahan atau menyembunyikan ilmu yang dimilikinya, maka ia berarti telah berkhianat pada amanat yang telah diberikan Allah kepadanya.
 
Secara umum Allah telah memerintahkan untuk menyampaikan amanat (kepada yang berhak), termasuk amanat ilmu. Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruh kalian untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kalian) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kalian menetapkan dengan adil ,” (QS An-Nisa [4]: 58). Rasulullah Saw. juga bersabda, “Seseorang yang tidak mempunyai sifat amanah tidak dapat dikatakan beriman. Seseorang yang tidak menunaikan perjanjian tidak dapat dikatakan mempunyai agama,” (HR Ahmad).

Memiliki Kompetensi dalam Ilmunya
Sudah menjadi keharusan bagi seorang pengemban tugas sebagai pengajar untuk memilki penguasaan yang cukup atas ilmu yang akan ia ajarkan. Ia juga dapat menggunakan sarana-sarana pendukung dalam menyampaikan ilmu. Allah memerintahkan setiap orang untuk menyelesaikan pekerjaannya sesuai dengan yang diinginkan-Nya. Karakter ini berlandaskan sabda Rasulullah Saw. berikut: “Sesungguhnya Allah menyukai seorang di antara kalian yang bila bekerja ia menyelesaikan pekerjaannya (dengan baik),” (HR Al-Baihaqi).

Menjadi Teladan yang Baik bagi Anak Didiknya
Seorang pelajar pasti selalu melihat gurunya. Baginya, seorang guru adalah contoh berakhlak dan bertingkah laku, seperti halnya ia mengambil ilmu darinya. Oleh karena itu, seorang guru berpengaruh besar dalam pembentukan kepribadian seorang murid. Rasulullah sendiri dapat mempengaruhi khalayak ramai saat itu hanya dengan keteladanan beliau yang baik. Tidak heran bila waktu itu banyak orang Arab yang masuk Islam secara beramai-ramai. Tentang pentingnya keteladanan ini, Al-Quran menjelaskan dalam firman Allah Swt. berikut: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah, hari akhir (kiamat), dan dia banyak menyebut Allah,” (QS Al-Ahzab [33]: 21).

Sumber:
http://gurutapteng.wordpress.com/2007/02/27/guru-yang-profesional-dan-efektif/
http://www.cahaya-islam.com/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=327
http://bk-stkip-pontianak.webs.com/apps/blog/show/678257-ciri-ciri-guru-konstruktivis

Kiat – Kiat Sukses Guru Menurut Perspektif Psikologi

Pada jaman sekarang dan yang akan datang ketersediaan sumberdaya alam yang melimpah tidak banyak menentukan kemajuan suatu masyarakat dan bangsa, tetapi faktor kualitas perorangan dan kelompok masyarakat itu sendiri yang menentukan kemajuan (McRae, 1995).Apalagi dengan adanya kecenderungan globalisasi dan transparansi informasi, orang dapat berkomunikasi dan memperoleh informasi dari belahan dunia manapun. Kehidupan menjadi saling tergantung satu sama lain, rentan terhadap perubahan yang terjadi di luar prediksi dan lebih kompetitif. Untuk dapat meraih sukses di dalam karir dan kehidupan, seseorang memerlukan sejumlah kualitas pribadi sebagai modal dasar yang sesuai dengan ni kompetisi yang menuntut kualitas di satu sisi, dan kerjasarna di sisi lain (Suharnan., 1997, 2006). 
 
Bagaimana dengan fenomena yang ada sekarang berkaitan dengan tuntutan dunia kerja dan karir?. Sesuai dengan pengamatan penulis dua tahun terakhir terhadap sejumlah iklan lowongan kerja vang dimuat di beberapa surat kabar nasional, mereka mensyaratkan para calon pelamar kerja dengan kualitas kualitas pribadi tertentu. Syarat syarat yang penting selain seorang pelamar memiliki pendidikan formal dan pengalaman kerja di bidang yang sesuai, juga harus memiliki antara lain adalah motivasi tinggi, keterampilan komunikasi yang baik, kemandirian bekerja, kerjasama tim, ulet dan gigih, menyukai tantangan, berkepribadian menarik, berkemauan membangun relasi. Berdasarkan iklan lowongan kerja itu, paling sedikit untuk jabatan setingkat manajer eksekutif dapat disimpulkan, bahwa ijasah dan transkrip yang diberikan oleh perguruan tinggi adalah belum cukup. Untuk meraih sukses di dalam meniti karir dan bahkan kehidupan, selain pendidikan formal, juga dibutuhkan beberapa kualitas pribadi tertentu dari seseorang yang cocok dengan tuntutan tugas dan pekerjaan yang akan ditekuni (Suharnan, 2002).

Sukses dan Karakteristik Orang Sukses

Setiap orang tentu ingin sukses baik di dalam menempuh karir maupun kehidupan secara umum. Meski demikian, sukses itu sendiri merupakan istilah yang sulit diartikan dengat tepat, karena bersifat relatif dan berbeda beda bagi masing-¬masing orang, tergantung dari sudut mana mereka memandang. Meski demikian, terdapat sejumlah indikator umum vang sering melekat pada istilah sukses. Di dalam bahasa sehari hari “sukses” juga sering disebut “berhasil” atau keberhasilan”. Dengan demikian, sebutan orang sukses boleh jadi sama dengan orang berhasil.
Secara harfiah sukses dapat diartikan sebagai penyelesaian suatu tugas atau pekerjaan. Jadi, seseorang dikatakan sukses dalam bertugas apabila ia telah menyelesaikan tugas yang, diberikan kepadanya. Menurut pengertian yang lebih luas, sukses di dalam hidup dapat diartikan sebagai proses mengejar dan mewujudkan tujuan tujuan sasaran sasaran penting di dalam kehidupan seseorang. Di dalam kehidupan sehari hari istilah sukses biasanya dikaitkan dengan kepemilikan materi (kekayaan) yang banyak, penghasilan atau gaji yang tinggi, pangkat, kedudukan atau jabatan tertentu (kekuasaan), dan karir yang mapan. Di samping itu, sukses juga sering dikaitkan dengan prestasi puncak, tingkat ketenaran, dan penghargaan prestisius yang pernah diperoleh seseorang, misalnva di bidang olah raga, kepemimpinan. kewirausahaan sosial dan seni budaya, politik, dan penemuan ilmiah.
 
Sudah tentu semua yang berkaitan dengan sukses tersebut diraih orang melalui proses yang panjang dan berliku. Di samping bekerja keras orang juga harus sanggup mengatasi berbagai kesulitan , tantangan dan hambatan. Di sini dibutuhkan sejumlah kualitas penting dari diri pribadi orang itu agar dapat meraih sukses sebagaimana yang diinginkan. Banyak contoh orang meraih sukses setelah mereka menjalani dan menekuni pekerjaan selama bertahun tahun, bahkan lebih dari dua puluh tahun, yang dulunya dimulai dari usaha kecil yang seolah tidak berarti apa apa, dengan menjalani kehidupan yang serba susah dan penuh dengan keprihatinan. Secara prinsip dapat dikatakan bahwa tidak ada satupun sukses yang diraih seseorang hanya semalam dan tanpa jerih payah. Sukses dalam arti sebenarya selalu diraih oleh seseorang dengan kerja keras dan jerih payah, baik secara fisik maupun mental (pikiran) di dalam jangka waktu yang cukup lama.
Bedasarkan wawancara. terhadap 50 orang sukses terkenal yang dilakukan oleh Edward de Bono (1991), secara. umum dapat disimpulkan bahwa peran kemampuan intelektual terhadap sukses tidak menonjol. Justru, faktor kepribadian (bukan intelektual) berperan sangat besar untuk, meraih sukses di dalam hampir segala keadaan dan bidang pekerjaan. Faktor kepribadian yang sangat penting adalah energi, persistensi, determinasi, dan kekerasan. hati. Di samping itu, juga dapat ditambahkan di antaranya adalah adanya tindakan, integritas dan harapan untuk sukses kemampuan untuk berpikir besar, kemampuan menetapkan tujuan dan target, dan juga. bermimpi; kreativitas, upaya memanfaatkan dan menciptakan peluang, ada semangat dan gairah serta. kesediaan untuk  membuat sesuatu terjadi.

Agar mudah diingat, kualitas pribadi yang menjadi kunci sukses tersebut dapat dijabarkan dari singkatan huruf huruf yang ada pada kata SUKSES itu sendiri (Suharnan, 2006).
Karakteristik Pribadi Sukses
SUKSES
S = Sasaran
U = Ulet
K = Komitmen
S = Serius
E = Energi
S = Suka tantangan

1. Sasaran
a. Mempunyai angan angan, cita cita, impian sebagai gambaran masa depan
jauh.
b. Mempunyai sasaran dan target jangka pendek dan panjang.
c. Mempunyai keyakinan kuat dan harapan untuk menjadi sukses.
d. Mempunyai obsesi dan berpikir besar.

2. Ulet
a. Kekerasan hati (gigih, bertekad kuat) dalam berusaha sampai berhasil.
b. Tekun, sabar, dan konsisten dalam bekerja.
c. Pantang menyerah ketika menghadapi kesulitan dan hambatan.
d. Tahan banting

3. Komitmen
a. Selalu berorientasi pada tujuan yang telah ditetapkan.
b. Bertanggung jawab dalam tindakan yang dilakukan.
c. Berpegang teguh pada janji yang pernah dibuat.
d. Jujur pada diri sendiri dan orang lain.
e. Marnpu menunda kesenangan sesaat dan mengendalikan diri.
f. Tidak suka menunda pekerjaan.

4. Serius
a. Bersungguh sungguh dalam bekerja atau melaksanakan tugas.
b. Tidak bekerja asal jadi, tetapi bekerja dengan standar kualitas yang baik.
c. Sanggup berkonsentrasi/fokus pada tugas dalam jangka cukup lama.
d. Bekerja secara maksirnal.

5. Energi
a. Memiliki energi fisik dan stamina yang prima; sehat, tidak gampang sakit.
b. Memiliki energi mental (pikiran) cukup, tidak mudah jenuh, atau lelah.
c. Memiliki semangat tinggi dan kemauan bekerja keras untuk meraih sukses.

6. Suka Tantangan
a. Memanfaatkan peluang.
b. Menciptakan peluang.
c. Sanggup menerima tugas baru tidak menolak sebelum dicoba dilakukan.
d. Mencari sesuatu yang belum pernah dilakukan.
e. Mengambil inisiatif sendiri tanpa tergantung pada orang lain.
f. Mampu menentukan sendiri target dan sasaran yang akan dicapai.

Kiat Kiat Membangun Pribadi Sukses

0leh karena sukses di dalam bidang,apapun tidak datang, kepada seseorang, dengan tiba tiba. tetapi diperoleh melalui proses panjang, dan usaha vang, tidak kenal lelah, maka diperlukan modal kualitas diri pribadi vang memadai sebagaimana telah disebutkan di depan. Kiat kiat berikut dapat dilakukan oleh setiap orang, yang ingin memiliki kualitas pribadi sukses.

1. Membangun Kebiasan Kebiasaan Positif

Membiasakan diri untuk: (a) membuat perencanaan sebelum melakukan sesuatu kegiatan; dimulai dari hal hal kecil dan tugas tugas rutin misalnya mengajar dan memenuhi kebutuhan sehai hari. (b) Menetapkan tujuan, sasaran dan target tertentu untuk jangka pendek (mendesak) dan jangka panjang, kemudian mengambil langkah-¬langkah tertentu untuk melaksanakan dan mengevaluasi hasil hasilnya. (c) Bekerja atas dasar prioritas (bukan semua tugas dikerjakan di dalam waktu yang bersamaan), sehingga, energi dapat digunakan untuk hal hal yang lebih bermakna. (d) Sesekali melakukan tugas yang kompleks atau sulit (misalnya proyek), sehingga orang akan terlatih bekerja keras baik secara fisik maupun pikiran di dalam waktu cukup lama. (e) Berolahraga secara teratur dan menjaga pola makan yang sehat, agar energi fisik tersedia cukup besar dan stamina kerja tetap prima, dan badan selalu sehat tanpa gangguan penyakit yang berarti.

2. Menanamkan Motivasi Intrinsik di dalam Bekerja
Di dalam menjalankan suatu tugas, telah dikenal antara lain adanya dua jenis motivasi, yaitu motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Orang dikatakan memiliki motivasi intrinsik apabila orang menialankan tugas demi mencapai kepuasan psikologis atau tanggung jawab pribadi. Sebaliknya, orang dikatakan memiliki motivasi ekstrinsik, apabila ia menjalankan tugas demi memperoleh imbalan dari luar, misalnya uang, materi, penghargaan atau jabatan.
Di dalam konteks motivasi itu, agar mencapai sukses maka seseorang guru harus lebih berorientasi pada motivasi intrinsik daripada ekstrinsik di dalam menjalankan tugas profesinya. Sebab, dengan motivasi intrinsik orang akan bekerja secara maksimal sesuai dengan kapasitasnya, yang seringkali melampaui tuntutan tugas yang semestinya: dengan motivasi ekstrinsik orang akan bekerja secukupnya sesuai dengan imbalan yang akan diterimanya, bahkan sering di bawah standar yang ditetapkan. Salah seorang sukses pernah mengatakan: “jika uang yang dijadikan motivasi. biasanya orang akan gagal”. Jadi jika seorang guru sebagai pegawai negeri atau swasta dengan gaji bulanan yang tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup layak, dapat dipastikan kinerja guru akan jauh dari standar yang telah ditetapkan manakala motivasi utama guru adalah uang sebagai imbalannya. Padahal, biasanya materi, uang dan jabatan akan mengikuti dengan sendirinya, ketika seseorang memperoleh kepuasan psikologis dari bekerja bersungguh sungguh dan berorientasi pada kualitas. Oleh karena itu, yang harus dikedepankan seseorang di dalam melaksanakan tugas adalah motivasi intrinsik tanpa mengabaikan motivasi ekstrinsik.

3. Melanjutkan Pendidikan ke Jenjang lebih Tinggi
Perjalanan karir di bidang apa saja termasuk sebagai guru adalah tidak statis, tetapi sering mengalami perubahan sesuai dengan tuntutan jaman. Oleh sebab itu, setiap guru harus selalu meningkatkan kompetensi dan profesionalitas. Di antaranya yang penting adalah menempuh pendidikan formal pada jenjang yang lebih tinggi, rnisainya sarjana (Sl), magister (S2), bahkan doktor (S3). Sebagai catatan, sekarang guru guru di sekolah dituntut harus memiliki ijasah Sarjana (SI). Bahkan banyak guru baik sekolah dasar maupun sekolah menengah yang sudah berhasil menempuh program magister (S2).

4. Mengikuti Sertifikasi dan Pelatihan
Dalam rangka meningkatkan kompetensi dan profesionalitas, maka setiap guru harus ikut serta dalam program sertifikasi yang sekarang sudah dimulai oleh pemerintah. Guru guru yang ingin sukses di dalam karirnya tentu akan menyambut dengan senang hati dan penuh antusias terhadap program sertifikasi itu, bahkan mungkin minta diikutsertakan pada sesi sesi awal sehingga tidak perlu menunggu waktu yang lebih lama.
Sekarang adalah era informasi. komunikasi dan komputerisasi, seseorang harus memperkaya diri dengan mengikuti kursus kursus dan pelatihan petatihan, misalnya kursus, atau pelatihan manajemen dan kepemimpinan, teknologi informasi (komputer), pengembangan pribadi sukses, keterampilan komunikasi dan hubungan interpersonal, dan bahasa asing. Juga, berpartisipasi aktif di dalam berbagai kegiatan diskusi dan seminar terutama yang ada kaitannya dengan dunia pendidikan.

5. Memilih Lingkungan yang Kondusif
Bagaimanapun juga lingkungan sangat besar pengaruhnya terhadap sikap dan perilaku sesorang (positif atau negatif). Agar memperoleh banyak manfaat positif dari lingkungan, seseorang harus memilih lingkungan dan pergaulan vang menunjang profesinya. Misalnya. seorang guru dapat bergabung dengan organisasi profesi guru (PGRI), guru bidang studi yang sesuai dengan tugas mengajarnya, misalnya bimbingan konseling (BP), IPA dan matematika: bergaul dan bertukar pikiran dengan guru guru lain dan orang orang yang menaruh minat besar terhadap dunia pendidikan.

6. Membaca Buku dan Menemukan Orang Sukses sebagai Idola
Membaca buku buku sejarah kehidupan orang orang sukses dan terkenal baik di tingkat daerah, nasional maupun internasional (misalnva pendidik, penemu, negarawan, pelaku bisnis, peraih medali emas atau hadiah nobel, dan tokoh tokoh masyarakat) akan memberikan aspirasi dan pengetahuan yang penting bagi kita. Di samping itu, dengan mengetahui pengalaman pengalaman mereka kita juga dapat menemukan salah satu di antara orang orang sukses sebagai model (orang sukses yang dijadikan idola), yang dapat kita tiru. dan ikuti jejaknya.
Untuk menemukan beberapa orang sukses yang akan dijadikan sebagai idola atau contoh panutan, selain membaca buku riwayat hidup mereka, juga dapat dilakukan melalui tatap muka langsung misalnya mewawancarai mereka, atau mengikuti berita berita pada media masa yang memuat bagaimana kiprah dan keberhasilan yang pernah dicapai oleh mereka.

7. Mengunjungi Tempat Tempat Penting
Seorang harus banyak bepergian untuk berkunjung ke berbagai tempat penting dan bersejarah baik di dalam negeri maupun luar negeri, Misalnya mengunjungi sekolah yang lebih maju dalam rangka studi banding, musium, pusat bisnis atau pemerintahan (juga keraton), pusat pementasan karya seni budaya, dan bangunan megah. Di samping itu, seseorang juga. dapat mengunjungi kelompok masyarakat khusus, misalnya suku primitif atau sebaliknya, masyarakat modern.
Demikian, semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi para guru guru dan kita semua yang ingin menjadi bagian dari orang orang sukses. Akhir kata: .”Anda akan sukses kalau anda mau”.
oleh:Prof. Dr. Suharnan, MS.- Guru besar Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Daftar Bacaan

De Bono, E. (1991).Taktik dan Kiat Ilmu Sukses, Alih bahasa oleh Agus Maulana. Jakarta: Bina Aksara.
McRae, H. (1995).The World in 2020. Alih bahasa oleh Anton Adiwijoto. Jakarta: Bina Aksara.
Sternberg, R.J. (1997). Succesful intelligence: How practical and creative intelligence detemine success. NY: A Plume Book,.
Suharnan (1997), Pemberdayaan masyarakat global dalarn kerangka pemikiran psikologis. Anima, jurnal Psikologi Indonesia, 12, 290-295.

Menjadi Guru Profesional

Dalam manajemen sumber daya manusia, menjadi profesional adalah tuntutan jabatan, pekerjaan ataupun profesi. Ada satu hal penting yang menjadi aspek bagi sebuah profesi, yaitu sikap profesional dan kualitas kerja. Profesional (dari bahasa Inggris) berarti ahli, pakar, mumpuni dalam bidang yang digeluti.
 
Menjadi profesional, berarti menjadi ahli dalam bidangnya. Dan seorang ahli, tentunya berkualitas dalam melaksanakan pekerjaannya. Akan tetapi tidak semua Ahli dapat menjadi berkualitas. Karena menjadi berkualitas bukan hanya persoalan ahli, tetapi juga menyangkut persoalan integritas dan personaliti. Dalam perspektif pengembangan sumber daya manusia, menjadi profesional adalah satu kesatuan antara konsep personaliti dan integritas yang dipadupadankan dengan skil atau keahliannya.
 
Menjadi profesional adalah tuntutan setiap profesi, seperti dokter, insinyur, pilot, ataupun profesi yang telah familiar ditengah masyarakat. Akan tetapi guru…? Sudahkan menjadi profesi dengan kriteria diatas. Guru jelas sebuah profesi. Akan tetapi sudahkah ada sebuah profesi yang profesional…? Minimal menjadi guru harus memiliki keahlian tertentu dan distandarkan secara kode keprofesian. Apabila keahlian tersebut tidak dimiliki, maka tidak dapat disebut guru. Artinya tidak sembarangan orang bisa menjadi guru.
 
Namun pada kenyataanya, banyak ditemui menjadi guru seperti pilihan profesi terakhir. Kurang bonafide, kalau sudah mentok tidak ada pekerjaan lain atau sebuah status sosial yang lekat dengan kemarginalan, gaji kecil, tidak sejahtera malah dibawah garis kemisikinan. Bahkan guru ada yang dipilih asal comot yang penting ada yang mengajar. Padahal guru adalah operator sebuah kurikulum pendidikan.Ujung tombak pejuang pengentas kebodohan. Bahkan guru adalah mata rantai dan pilar peradaban dan benang merah bagi proses perubahan dan kemajuan suatu masyarakat atau bangsa.
Mengingat guru adalah profesi yang sangat idealis, pertanyaannya adakah guru profesional itu…? Dan bagaimana melahirkan sosok guru yang profesional tersebut…?

Guru Profesional

Kalau mengacu pada konsep di atas, menjadi profesional adalah meramu kualitas dengan intergiritas, menjadi guru pforesional adalah keniscayaan. Namun demikian, profesi guru juga sangat lekat dengan peran yang psikologis, humannis bahkan identik dengan citra kemanusiaan. Karena ibarat sebuah laboratorium, seorang guru seperti ilmuwan yang sedang bereksperimen terhadap nasib anak manusia dan juga suatu bangsa.Ada beberapa kriteria untuk menjadi guru profesional.
 
Memiliki skill/keahlian dalam mendidik atau mengajar
Menjadi guru mungkin semua orang bisa. Tetapi menjadi guru yang memiliki keahlian dalam mendidikan atau mengajar perlu pendidikan, pelatihan dan jam terbang yang memadai. Dalam kontek diatas, untuk menjadi guru seperti yang dimaksud standar minimal yang harus dimiliki adalah:
•    Memiliki kemampuan intelektual yang memadai
•    Kemampuan memahami visi dan misi pendidikan
•    Keahlian mentrasfer ilmu pengetahuan atau  metodelogi pembelajaran
•    Memahami konsep perkembangan anak/psikologi perkembangan
•    Kemampuan mengorganisir dan problem solving
•    Kreatif dan memiliki seni dalam mendidik

Personaliti Guru

Profesi guru sangat identik dengan peran mendidik seperti membimbing, membina, mengasuh ataupun mengajar. Ibarat sebuah contoh lukisan yang akan ditiru oleh anak didiknya. Baik buruk hasil lukisan tersebut tergantung dari contonya. Guru (digugu dan ditiru)  otomatis menjadi teladan. Melihat peran tersebut, sudah menjadi kemutlakan bahwa guru harus memiliki integritas dan personaliti yang baik dan benar. Hal ini sangat mendasar, karena tugas guru bukan hanya mengajar (transfer knowledge)  tetapi juga menanamkan nilai – nilai dasar dari bangun karakter atau akhlak anak.
 
Memposisikan profesi guru sebagai  The High Class Profesi
Di negeri ini sudah menjadi realitas umum  guru bukan menjadi profesi yang berkelas baik secara sosial maupun ekonomi. Hal yang biasa, apabila menjadi Teller di sebuah Bank, lebih terlihat high class dibandingkan guru. jika ingin menposisikan profesi guru setara dengan profesi lainnya,  mulai di blow up bahwa profesi guru strata atau derajat yang tinggi dan dihormati dalam masyarakat. Karena mengingat begitu fundamental peran guru bagi proses perubahan dan perbaikan di masyarakat.
 
Mungkin kita perlu berguru dari sebuah negara yang pernah porak poranda akibat perang. Namun kini telah menjelma menjadi negara maju yang memiliki tingkat kemajuan ekonomi dan teknologi yang sangat tinggi. Jepang merupakan contoh bijak untuk kita tiru. Setelah Jepang kalah dalam perang dunia kedua,  dengan dibom atom dua kota besarnya, Hirohima dan Nagasaki, Jepang menghadapi masa krisis dan kritis kehidupan berbangsa dan bernegara yang sangat parah. Namun ditengah kehancuran akibat perang, ditengah ribuan orang tewas dan porandanya infrastruktur negaranya, Jepang berpikir cerdas untuk memulai dan keluar dari kehancuran perang. Jepang hanya butuh satu keyakinan, untuk bangkit. Berapa guru yang masih hidup…?
Hasilnya setelah berpuluh tahun berikut, semua orang terkesima dengan kemajuan yang dicapai Jepang. Dan tidak bisa dipungkiri, semua perubahan dan kemajuan yang dicapai, ada dibalik sosok Guru yang begitu dihormati dinegeri tersebut.
 
ini, lihatlah Indonesia, negara yang sangat kurang respek dengan posisi guru. Negara yang kurang peduli dengan nasib guru. Kini lihatlah hasilnya. Apabila mengacu pada Human Index Development (HDI), Indonesia menjadi negara dengan kualias SDM yang memprihatinkan. Berdasarkan HDI tahun 2007,  Indonesia berada diperingkat 107 dunia dari 177 negara. Bila dibandingkan dengan negara sekitar, tingkat HDI Indonesia jauh tertinggal.Contoh Malaysia berada diperingkat 63,  Thailand 78, dan Singapura 25. Indonesia hanya lebih baik dari Papua Nugini dan Timor Leste yang berada diposisi 145 dan 150.
HDI merupakan potret tahunan untuk melihat perkembangan manusia di suatu negara. HDI adalah kumpulan penilaian dari 3 kategori, yakni kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Menjadi jelaslah bahwa, sudah saatnya Indonesia menjadikan sektor pendidikan sebagai prioritas utama dalam program pembangunan. Apabilah hal ini tidak dibenahi, bukan hal mustahil daya saing dan kualitas manusia Indonesia akan lebih rendah dari negara yang baru saja merdeka seperti Vietnam atau Timor Leste.

Program Profesionalisme Guru

•    Pola rekruitmen yang berstandar dan selektif
•    Pelatihan yang terpadu, berjenjang dan berkesinambungan (long life eduction)
•    Penyetaraan pendidikan dan membuat standarisasi mimimum pendidikan
•    Pengembangan diri dan motivasi riset
•    Pengayaan kreatifitas untuk menjadi guru karya (Guru yang bisa menjadi guru)

Peran Manajeman Sekolah

•    Fasilitator program Pelatihan dan Pengembangan profesi
•    Menciptakan jenjang karir yang fair dan terbuka
•    Membangun manajemen dan sistem ketenagaan yang baku
•    Membangun sistem kesejahteraan guru berbasis prestasi

Bagaimana menjadi guru yang baik (Profesional)..?

Tidak mudah menjadi guru yang baik, dikagumi dan dihormati oleh anak didik, masyarakat sekitar dan rekan seprofesi.
Ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh seorang guru untuk mendapat pengakuan sebagai guru yang baik dan berhasil.

Pertama. Berusahalah tampil di muka kelas dengan prima. Kuasai betul materi pelajaran yang akan diberikan kepada siswa. Jika perlu, ketika berbicara di muka kelasa tidak membuka catatan atau buku pegangan sama sekali. Berbicaralah yang jelas dan lancar sehingga terkesan di hati siswa bahwa kita benar-benar tahu segala permasalahan dari materi yang disampaikan.

Kedua. Berlakulah bijaksana. Sadarilah bahwa siswa yang kita ajar, memiliki tingkat kepandaian yang berbeda-beda.
 
Ada yang cepat mengerti, ada yang sedang, ada yang lambat dan ada yang sangat lambat bahkan ada yang sulit untuk bisa dimengerti. Jika kita memiliki kesadaran ini, maka sudah bisa dipastikan kita akan memiliki kesabaran yang tinggi untuk menampung pertanyaan-pertanyaan dari anak didik kita. Carilah cara sederhana untuk menjelaskan pada siswa yang memiliki tingkat kemampuan rendah dengan contoh-contoh sederhana yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari walaupun mungkin contoh-contoh itu agak konyol.


Ketiga. Berusahalah selalu ceria di muka kelas. Jangan membawa persoalan-persoalan yang tidak menyenangkan dari rumah atau dari tempat lain ke dalam kelas sewaktu kita mulai dan sedang mengajar.

Keempat. Kendalikan emosi. Jangan mudah marah di kelas dan jangan mudah tersinggung karena perilaku siswa. Ingat siswa yang kita ajar adalah remaja yang masih sangat labil emasinya. Siswa yang kita ajar berasal dari daerah dan budaya yang mungkin berbeda satu dengan yang lainnya dan berbeda dengan kebiasaan kita, apalagi mungkin pendidikan di rumah dari orang tuanya memang kurang sesuai dengan tata cara dan kebiasaan kita. Marah di kelas akan membuat suasana menjadi tidak enak, siswa menjadi tegang. Hal ini akan berpengaruh pada daya nalar siswa untuk menerima materi pelajaran yang kita berikan.

Kelima. Berusaha menjawab setiap pertanyaan yang diajukan siswa. Jangan memarahi siswa yang yang terlalu sering bertanya. Berusaha menjawab setiap pertanyaan yang diajukan siswa dengan baik. Jika suatu saat ada pertanyaan dari siswa yang tidak siap dijawab, berlakulah jujur. Berjanjilah untuk dapat menjawabnya dengan benar pada kesempatan lain sementara kita berusaha mencari jawaban tersebut. Janganlah merasa malu karena hal ini. Ingat sebagai manusia kita mempunyai keterbatasan. Tapi usahakan hal seperti ini jangan terlalu sering terjadi. Untuk menghindari kejadian seperti ini, berusahalah untuk banyak membaca dan belajar lagi. Jangan bosan belajar. Janganlah menutupi kelemahan kita dengan cara marah-marah bila ada anak yang bertanya sehingga menjadikan anak tidak berani bertanya lagi. Jika siswa sudah tidak beranibertanya, jangan harap pendidikan/pengajaran kita akan berhasil.

Keenam. Memiliki rasa malu dan rasa takut. Untuk menjadi guru yang baik, maka seorang guru harus memiliki sifat ini. Dalam hal ini yang dimaksud rasa malu adalah malu untuk melakukan perbuatan salah, sementara rasa takut adalah takut dari akibat perbuatan salah yang kita lakukan. Dengan memiliki kedua sifat ini maka setiap perbuatan yang akan kita lakukan akan lebih mudah kita kendalikan dan dipertimbangkan kembali apakah akan terus dilakukan atau tidak.

Ketujuh. Harus dapat menerima hidup ini sebagai mana adanya. Di negeri ini banyak semboyan-semboyan mengagungkan profesi guru tapi kenyataannya negeri ini belum mampu/mau menyejahterakan kehidupan guru. Kita harus bisa menerima kenyataan ini, jangan membandingkan penghasilan dari jerih payah kita dengan penghasilan orang lain/pegawai dari instansi lain. Berusaha untuk hidup sederhana dan jika masih belum mencukupi berusaha mencari sambilan lain yang halal, yang tidak merigikan orang lain dan tidak merugikan diri sendiri. Jangan pusingkan gunjingan orang lain, ingatlah pepatah “anjing menggonggong bajaj berlalu.”

Kedelapan. Tidak sombong.Tidak menyombongkan diri di hadapan murid/jangan membanggakan diri sendiri, baik ketika sedang mengajar ataupun berada di lingkungan lain. Jangan mencemoohkan siswa yang tidak pandai di kelas dan jangan mempermalukan siswa (yang salah sekalipun) di muka orang banyak. Namun pangillah siswa yang bersalah dan bicaralah dengan baik-baik, tidak berbicara dan berlaku kasar pada siswa.

Kesembilan. Berlakulah adil. Berusahalah berlaku adil dalam memberi penilaian kepada siswa. Jangan membeda-bedakan siswa yang pandai/mampu dan siswa yang kurang pandai/kurang mampu Serta tidak memuji secara berlebihan terhadap siswa yang pandai di hadapan siswa yang kurang pandai.

Rujukan: http://desireminsa.multiply.com/journal/item/3

Jumat, 19 Februari 2010

Menjadi Pendidik Sukses

Syarat Pendidik yang Sukses (Muhammad Jameel Zeeno, 1999 : 47-54) :
Yang bersangkutan harus menguasai bidang yang diajarkannya. Ia juga memiliki inovasi dalam praktik pengajarannya, mencintai pekerjaan dan siswanya, mengerahkan segala potensi yang dimilikinya dalam penddikan untuk mencapai pendidikan yang baik dan membekali diri dengan pengetahuan yang bermanfaat.

Ia juga harus bisa menjadi contoh yang baik bagi yang lainnya, baik dalam perkataan maupun perbuatannya.

Ia harus melaksanakan terlebih dahulu apa yang ia perintahkan kepada murid2nya, mulai dari tingkah laku, akhlak, dan ilmu yang diajarkan. Jangan sampai ia melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan apa yang dikatakannya sendiri.

Seorang pendidik harus mengetahui bahwa tugasnya sebagai guru menyerupai tugas para Nabi yang diutus oleh Allah untuk mengajarkan petunjuk kepada umat manusia. Ia juga harus bisa mencintai mereka layaknya orang tua. Ia bahkan dianjurkan mau berbuat baik dalam membantu anak didiknya dalam menyelesaikan masalah dan hal yang lain, yang merupakan bagian dari tanggung jawabnya.

Seorang pendidik harus berbeda kadar keluhuran akhlak, tingkat pendidikan, dan kecerdasannya. Oleh karena itu, ia berkewajiban untuk berusaha memperbaiki akhlaknya dan menambah pengetahuannya.

Seorang pendidik sukses akan senantiasa saling tolong menolong dengan rekan seprofesinya sesama pendidik.

Pengakuan terhadap suatu kebenaran merupakan suatu hal yang utama. Oleh karenanya, seorang pendidik yang ingin sukses harus tunduk pada kebenaran dan tidak segan meninjau kembali kesalahan2 yang dilakukannya.

Seorang pendidik hendaklah senantiasa berlaku jujur dalam bertutur. Ingatlah bahwa semua kejujuran pasti membawa kebaikan. Jangan sekali2 mendidik siswa dengan berdusta walaupun hal itu menguntungkan.

Seorang pendidik hendaklah bisa menghiasi dirinya dengan sifat sabar pada saat menghadapi permasalahan dengan para siswa dan pelajarannya. Hanya dengan bersabar, ia bisa tertolong untuk melakukan dan meyelesaikan aktivitas yang mulia
{http://www.psb-psma.org/content/blog/menjadi-pendidik-sukses}

Selasa, 09 Februari 2010

Andai Saja Para Guru Kita Bersemangat Seperti Beliau Ini















Potret guru seperti Oemar Bakri mungkin ada di sebuah lagu, namun saya yakin masih ada disela sela ribuan guru di negara kita yang benar-benar mengutamakan pengabdian dan dedikasi untuk para murid-muridnya. Bukan bermaksud membanding-bandingkan namun hanya sebuah penyegaran di ingatan kita siapa tau hal seperti ini kita masih jumpai.

Adalah seorang guru pelajaran Matematika di daratan Tiongkok yang sesungguhnya sedang sakit parah hingga mengharuskan dirinya diinfus karena sakitnya tersebut, namun masih bersikeras untuk tetap mengajar dikarenakan dia tidak ingin melihat anak didiknya tertinggal dalam pelajaran. Lagipun kondisi di sekolah tersebut tidak ada yang sanggup menggantikan beliau.

Kita tidak bisa berkata apa-apa melihat betapa kerasnya keinginan sang guru ini dalam mengajarkan ilmu yang dimilikinya pada anak didiknya hingga rela meredam rasa sakit yang dideritanya demi suatu hal yang dia anggap begitu penting bagi masa depan siswa yang merupakan generasi depan bangsa mereka. Saya jadi berpikir ditengah ketertinggalan kita dari bangsa-bangsa lain terutama dalam pembangunan sumber daya manusia, sosok seperti beliaulah yang kita butuhkan sekarang.

Sumber : http://www.blogcatalog.com/blog/ruang-download-gratis/63d60572fcd738d024fe3b60850e6cef

Minggu, 07 Februari 2010

Keunggulan dan Kekurangan Pembelajaran Kooperatif tipe STAD

Suatu strategi pambelajaran mempunyai keunggulan dan kekurangan. Demikian pula dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD. Pembelajaran kooperatif tipe STAD mempunyai beberapa keunggulan (Slavin, 1995:17) diantaranya sebagai berikut:
1. Siswa bekerja sama dalam mencapai tujuan dengan menjunjung tinggi norma-norma kelompok.
2. Siswa aktif membantu dan memotivasi semangat untuk berhasil bersama.
3. Aktif berperan sebagai tutor sebaya untuk lebih meningkatkan keberhasilan kelompok.
4. Interaksi antar siswa seiring dengan peningkatan kemampuan mereka dalam berpendapat.
Selain keunggulan tersebut pembelajaran kooperatif tipe STAD juga memiliki kekurangan-kekurangan, menurut Dess (1991:411) diantaranya sebagai berikut:
1. Membutuhkan waktu yang lebih lama untuk siswa sehingga sulit mencapai target kurikulum.
2. Membutuhkan waktu yang lebih lama untuk guru sehingga pada umumnya guru tidak mau menggunakan pembelajaran kooperatif.
3. Membutuhkan kemampuan khusus guru sehingga tidak semua guru dapat melakukan pembelajaran kooperatif.
4. Menuntut sifat tertentu dari siswa, misalnya sifat suka bekerja sama.

Kekurangan-kekurangan yang ada pada pembelajaran kooperatif
Kekurangan-kekurangan yang ada pada pembelajaran kooperatif masih dapat diatasi atau diminimalkan. Penggunaan waktu yang lebih lama dapat diatasi dengan menyediakan lembar kegiatan siswa (LKS) sehingga siswa dapat bekerja secara efektif dan efisien. Sedangkan pembentukan kelompok dan penataan ruang kelas sesuai kelompok yang ada dapat dilakukan sebelum kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Dengan demikian, dalam kegiatan pembelajaran tidak ada waktu yang terbuang untuk pembentukan kelompok dan penataan ruang kelas.
Pembelajaran kooperatif memang memerlukan kemampuan khusus guru, namun hal ini dapat diatasi dengan melakukan latihan terlebih dahulu. Sedangkan kekurangan-kekurangan yang terakhir dapat diatasi dengan memberikan pengertian kepada siswa bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu, siswa merasa perlu bekerja sama dan berlatih bekerja sama dalam belajar secara kooperatif.

Kekurangan model pembelajaran kooperatif STAD

Menurut Slavin (dalam Nurasma 2006:2007 )yaitu :

Konstribusi dari siswa berprestasi rendah menjadi kurang

Siswa berprestasi tinggi akan mengarah pada kekecewaan karena peran anggota yang pandai lebih dominan.


DAFTAR PUSTAKA
Arends, Richard I. 1997. “Classroom Intruction and Management”. New York: ME Graw Hill Companies, Inc.
Arikunto, Suharsimi. 1999. “Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan”. (edisi revisi). Jakarta: Bumi Aksara.
Dees, Robert L. 1991. “The Role of Cooperative Learning in Increasing Problem Solving Ability in a College Remedial Course. Journal for Research in Mathematics Education.
Hudoyo, H. 1998. “Mengajar Belajar Matematika”. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.
---------, H. 1998. Pembelajaran Matematika menurut Pandangan Konstruktivis”. Malang: PPs IKIP Malang.
Ibrahim, M dkk. 2000. “Pembelajaran Kooperatif”. Surabaya: University Press.
Nur Muhammad, 1996. “Pembelajaran Kooperatif”. Surabaya: IKIP Surabaya University Press.
---------------------, 1998. “Pendekatan-pendekatan konstruktivisme dalam Pembelajaran IKIP Surabaya.
Post. Rh.R. 1992. “Theaching Mathematics in Grades K-8: Research-Based Methods. Massachussets: A Division of Simon & Schuster. Inc.
Russefendi. E.T. 1979. “Dasar-dasar Matematika Modern”. Bandung: Tarsito.
Ratumanan, Tanwey G. 2002. “Belajar dan Pembelajaran”. Surabaya: UNESA University Press.
Slameto. 1980. “Belajar dan Faktor-faktor yang mempengaruhinya”. Cetakan ke dua. Jakarta: Rineka Cipta.
Soedjadi, R. 2000. “Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia”. Jakarta: Depdikbud.
Slavin, Robert, E. 1994. “ Educational Psychology: Theory and Practice”. Massachussetts, Allyn and Bacon Publisher.
--------------------. 1995. “Cooperative Learning Theory and Practice”. Secon Edition. Massachussets: Allyn and Bacon Publisher.
--------------------. 2000. “Educational Psychology Theory and Practice”. Sixth Edition. Massachussets: Allyn and Bacon Publisher.
Suherman, Erman. 2001. “Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer”. Bandung: JICA – UPI.

PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN KOOPERATIF

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Matematika sebagai salah satu ilmu dasar mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari serta dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada umumnya. Oleh karena itu matematika merupakan salah satu mata pelajaran pokok di sekolah baik di sekolah dasar, sekolah lanjutan sampai dengan perguruan tinggi. Matematika perlu dipelajari oleh siswa karena matematika merupakan sarana berfikir untuk menumbuh kembangkan pola berfikir logis, sistematis, obyektif, kritis dan rasional.


Usaha perbaikan dan peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia telah lama dilakukan, termasuk kualitas pendidikan matematika sekolah. Namun usaha tersebut belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Kenyataan di lapangan menunjukkan adanya kesenjangan sangat besar antara kenyataan dengan hasil yang diharapkan. Prestasi belajar siswa dalam bidang studi matematika masih tergolong rendah bila dilihat dari hasil Ebtanas. Wardiman Djoyonegoro (dalam La Masi, 2002: 2) mengemukakan bahwa pencapaian NEM siswa pada semua jenjang pendidikan nilai dari SD sampai dengan SMU di bidang MIPA hampir selalu terendah dibanding dengan bidang studi lain. Hal senada juga dikemukakan Marpaung (dalam La Masi, 2002: 2) bahwa nilai rata-rata siswa dalam Ebtanas selalu rendah, paling tinggi rata-rata itu “cukup” dan bahkan sering kali dibawah cukup jika dibandingkan dengan mata pelajaran lain, matematika berada pada urutan di bawah.
Rendahnya prestasi belajar yang dicapai siswa mungkin saja disebabkan pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif belum sepenuhnya dilaksanakan. Pembelajaran secara konvensional yang terlaksana sampai saat ini di sekolah-sekolah, guru terlalu mendomonasi pembelajaran sehingga keterlibatan peserta didik dalam proses pembelajaran masih sangat kurang. Pada pembelajaran konvensional, siswa bukan lagi sebagai subyek pembelajaran melainkan obyek pembelajaran. Keadaan seperti ini sangat mengurangi tanggung jawab siswa atas tugas belajarnya, siswa seharusnya dituntut untuk mengkonstruksi, menemukan dan mengembangkan kemampuannya serta dapat mengungkapkan dalam bahasa sendiri tentang apa yang diterima dan diolah selama pembelajaran berlangsung.


Strategi pembelajaran yang melibatkan siswa aktif adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan proses belajar disamping hasil belajar yang akan diperoleh. Hal ini berarti siswa diharapkan agar secara aktif dapat membangun atau membentuk sendiri pengetahuan yang dipelajari dalam pembelajaran. Salah satu strategi pembelajaran yang melibatkan siswa aktif tersebut adalah pembelajaran yang menggunakan pendekatan konstruktivistis. Teori konstruktivistis memandang bahwa siswa hendaknya terus-menerus mengecek informasi-informasi baru dengan aturan-aturan lama, dan memperbaikinya bilamana sudah tidak sesuai lagi. Oleh karena itu, sebaiknya pembelajaran di kelas saat ini sudah mulai dengan menerapkan pembelajaran yang menganut pendekatan konstruktivistis. Menurut Davidson dan Kroll (dalam Tamrin, 2002), salah satu strategi pembelajaran matematika yang berorientasi pada pendekatan konstruktivistis adalah pembelajaran kooperatif. Menurut Slavin (1994: 227) dalam pembelajaran kooperatif siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka dapat saling mendiskusikan masalh-masalah tersebut dengan teman-temannya. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengeluarkan pendapatnya sendiri, mendengar pendapat temannya, dan bersama-sama membahas permasalahan yang diberikan guru.


Dalam memilih strategi pembelajaran diperlukan beberapa pertimbangan, antara lain adalah keadaan siswa, keadaan sekolah, lingkungan belajar yang dapat menunjang kemajuan IPTEK dan kemajuan kehidupan sosial di masyarakat, serta tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa keadaan siswa di sekolah-sekolah pada umumnya adalah heterogen. Maksud heterogen disini adalah heterogen dalam jenis kelamin, agama, tingkat kehidupan sosial, kemampuan akademik dan suku/ras.
Pembelajaran kooperatif merupakan strategi pembelajaran yang menempatkan siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil (beranggotakan 4-5 siswa) dengan tingkat kemampuan yang berbeda serta menekankan kerjasama dan tanggung jawab kelompok dalam mencapai tujuan yang sama. Ada beberapa tipe pembelajaran kooperatif, mulai dari yang sederhana sampai dengan yang sangat kompleks. Menurut Slavin (1995: 52) tipe pembelajaran kooperatif diantaranya adalah Student Teams Achievement Divisisons (STAD), Jigsaw, Teams Games Tournament (TGT), dan Team Assisted Individualization (TAI). Pada dasarnya keempat pembelajaran kooperatif tersebut adalah sama, yaitu mengutamakan kerjasama kelompok. Namun dalam setting struktur tugas utama, keempat tipe kooperatif tersebut berbeda satu dengan yang lainnya.


Menurut Slavin (dalam ibrahim, dkk, 2000: 16) telah melakukan dan melaporkan bahwa prestasi dari kelas kooperatif menunjukkan hasil belajar akademik yang signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif memiliki dampak yang amat positif untuk siswa yang rendah hasil belajarnya. Linda Lundgren (dalam Ibrahim, 2000: 17) hasil-hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tehnik-tahnik pembelajaran kooperatif lebih unggul dalam meningkatkan hasil belajar dibandingkan dengan pengalaman-pengalaman belajar individual atau kompetitif.


Pembelajaran kooperatif tipe STAD, jika dibandingkan dengan tipe yang lain dari pembelajaran kooperatif maka STAD adalah suatu tipe pembelajaran kooperatif yang sederhana. Hal ini terlihat dalam pelaksanaannya, yaitu presentasi kelas, kegiatan kelompok, melaksanakan evaluasi dan penghargaan kelompok. Sehingga strategi pembelajaran tersebut dapat digunakan oleh guru-guru yang baru memulai menggunakan pembelajaran kooperatif.


Dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD, materi pembelajaran dirancang sedemikian rupa untuk pembelajaran secara berkelompok. Dengan menggunakan lembaran kegiatan atau perangkat pembelajaran lain, siswa bekerja bersama-sama (berdiskusi) untuk menuntaskan materi. Mereka saling membantu satu sama lain untuk memahami bahan pelajaran, sehingga dipastikan semua anggota telah mempelajari materi tersebut secara tuntas.


Kalau dibandingkan dengan pembelajaran konvensional (Pambelajaran yang biasa diterapkan di sekolah) jelas tidak jauh berbeda, sehingga siswa dan guru-guru yang baru mulai menggunakan pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat secepatnya menyesuaikan diri. Hanya dalam hal ini, pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam kegiatankelompoknya menggunakan aturan-aturan tertentu. Misalnya siswa dalam satu kelompok harus heterogen, baik dalam kemampuan maupun jenis kelamin atau etnis, siswa yang menguasai bahan pelajaran lebih dulu harus membantu teman kelompoknya yang belum menguasai pelajaran.


Berdasarkan uraian di atas, penulis termotivasi untuk menerapkan pembelajaran kooperatif tipe STAD untuk diterapkan pada materi bilangan pecahan. Dengan pembelajaran kooperatif siswa diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar matematika.

B. Rumusan Pertanyaan
Berdasarkan latar belakang sebagaimana dikemukakan di atas, maka rumusan pertanyaan pada penelitian ini adalah: “Bagaimanakah hasil belajar siswa dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD di Sekolah Dasar?
C. Tujuan Penulisan
Sesuai dengan rumusan pertanyaan di atas, maka tujuan penulisan ini adalah untuk memperbaiki kualitas pembelajaran matematika dengan pendekatan pembelajaran kooperatif tipe STAD.
D. Batasan Istilah
Untuk menghindari terjadinya perbedaan penafsiran, penulis memandang perlu untuk mengemukakan beberapa batasan istilah berikut ini:
1. Pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang menempatkan siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil (beranggotakan 4-5 siswa) dengan anggota yang heterogen baik dalam kemampuan akademik maupun jenis kelamin atau etnis, serta menekankan kerjasama dan tanggung jawab kelompok dalam mencapai tujuan.
2. Student Team Achievement Division (STAD) merupakan tipe pembelajaran kooperatif yang dalam pelaksanaannya meliputi: menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa, menyajikan informasi, mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar, belajar dalam kelompok, evaluasi, dan memberikan penghargaan.


E. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan ini diharapkan:
1. Sebagai alternatif dalam kegiatan pembelajaran, dalam upaya peningkatan kualitas pembelajaran matematika khususnya di Sekolah Dasar.
2. Sebagai bahan masukan bagi peneliti untuk mengadakan penelitian pembelajaran matematika.



BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakekat Belajar Matematika
1. Pengertian Belajar


Hudojo (1988: 1) mengemukakan bahwa seseorang dikatakan belajar bila diasumsikan dalam diri orang itu terjadi suatu proses kegiatan yang mengakibatkan perubahan tingkah laku. Selanjutnya Winkel (1989: 36) mendifinisikan belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan nilai sikap.


Slameto (1980: 2) mengemukakan bahwa secara psikologis belajar merupakan suatu proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya lebih jauh dikatakan bahwa perubahan tingkah laku dalam belajar adalah: (1) perubahan ini terjadi secara sadar, (2) perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional, (3) perubahan dalam belajar bersifat/bernilai positif dan aktif, (4) perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara, dan (5) perubahan belajar bertujuan dan terarah.


Sedang Rusyan (1989: 8) mengemukakan pendapatnya tentang belajar, sebagai berikut: belajar dalam arti yang luas adalah proses perubahan tingkah laku yang dinyatakan dalam bentuk penguasaan, penggunaan, dan penilaian mengenai sikap dan nilai-nilai, pengetahuan dan kecakapan dasar yang terdapat dalam berbagai bidang studi, atau lebih luas lagi dalam berbagai aspek kehidupan atau pengalaman yang terorganisasi.


Dari beberapa pendapat di atas, dapatlah disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku yang bersifat positif dalam diri seseorang. Perubahan tingkah laku yang diakibatkan oleh belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk, misalnya bertambahnya pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan perubahan sikap. Salah satu contoh hasil dari usaha belajar Bilangan Pecahan adalah dari belum memiliki pengetahuan tentang Bilangan Pecahan menjadi memiliki pengetahuan tentang Bilangan Pecahan.


2. Belajar Matematika
Soedjadi (2000: 1) mengemukakan bahwa ada beberapa definisi atau pengertian matematika berdasarkan sudut pandang pembuatnya, yaitu sebagai berikut:
a) Matematika adalah cabang ilmu pengetahuan eksak dan terorganisisr secara sistematik
b) Matematika adalah pengetahuan tentang bilangan dan kalkulasi
c) Matematika adalah pengetahuan tentang penalaran logik dan berhubungan dengan bilangan.
d) Matematika adalah pengetahuan fakta-fakta kuantitatif dan masalah tentang ruang dan bentuk.
e) Matematika adalah pengetahuan tentang struktur-struktur yang logik
f) Matematika adalah pengetahuan tentang aturan-aturan yang ketat.
Meskipun terdapat beraneka ragam definisi matematika, namun jika diperhatikan secara seksama, dapat terlihat adanya ciri-ciri khusus yang dapat merangkum pengertian matematika secara umum. Selanjutnya Soedjadi (2000: 13) mengemukakan beberapa ciri-ciri khusus dari matematika adalah:
a) Memiliki objek kajian yang abstrak
b) Bertumpu pada kesepakatan
c) Berpola pikir deduktif,
d) Memiliki simbol yang kosong dari arti,
e) Memperhatikan semesta pembicaraan,
f) Konsisten dalam sistemnya.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dapat dikatakan bahwa hakekat matematika adalah kumpulan ide-ide yang bersifat abstrak, terstruktur dan hubungannya diatur menurut aturan logis berdasarkan pola pikir deduktif.
Belajar matematika tidak ada artinya jika hanya dihafalkan saja. Dia baru mempunyai makna bila dimengerti. Orton (1991: 154) mengemukakan bahwa hendaknya siswa tidak belajar matematika hanya dengan menerima dan menghafalkan saja, tetapi harus belajar secara bermakna, belajar bermakna merupakan suatu cara belajar dengan pengertian dari pada hafalan.


Soedjadi (1985) menyatakan bahwa untuk menguasai matematika diperlukan cara belajar yang berurutan, setapak demi setapak dan bersinambungan. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Hudojo (1988: 4) yang mengatakan bahwa untuk mempelajari matematika haruslah bertahap, berurutan, serta mendasarkan kepada pengalaman belajar yang lalu. Lebih lanjut dikatakan bahwa proses belajar matematika akan terjadi dengan lancar bila belajar itu dilakukan secara kontinu.

Uraian di atas menunjukkan bahwa belajar matematika memerlukan pengertian dan dalam mempelajari proses pembelajarannya haruslah dilakukan secara bertahap, berurutan dan berkesinambungan.
B. Pembelajaran Kooperatif
Slavin (1994: 287) mengemukakan bahwa:
Cooperatif learning refers to instructional methods in which student work together in small groups to help each other learn.

Pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang di dalamnya mengkondisikan para siswa bekerja bersama-sama di dalam kelompok-kelompok kecil untuk membantu satu sama lain dalam belajar. Pembelajaran kooperatif di dasarkan pada gagasan atau pemikiran bahwa siswa bekerja bersama-sama dalam belajar, dan bertanggung jawab terhadap aktivitas belajar kelompok mereka seperti terhadap diri mereka sendiri. Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu model pembelajaran yang menganut paham konstruktivisme.
Slavin (2000: 259) menyatakan:

Construktivist approaches to teaching typically make extensive use of cooperative learning, on the theory that student will more easily discover and comprehend difficult concepts if they can talk with each other about the problems.
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa pendekatan konstruktivis dalam pengajaran secara khusus membuat belajar kooperatif ekstensif, secara teori siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka dapat saling mendiskusikannya dengan temannya.

Pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang mengutamakan kerjasama antar siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Menggunakan pembelajaran kooperatif merubah peran guru dari peran yang berpusat pada gurunya ke pengelolaan siswa dalam kelompok-kelompok kecil. Menurut teori konstruktivistis, tugas guru (pendidik) adalah menfasilitasi agar proses pembentukan (konstruksi) pengetahuan pada diri tiap-tiap siswaterjadi secara optimal. Sebagai contoh, jika seorang siswa membuat suatu kesalahn dalam mengerjakan sebuah soal, meka guru tidak langsung memberitahukan dimana letak kesalahannya. Sebaiknya guru mengajukan beberapa pertanyaan untuk menuntun siswa supaya pada akhirnya siswa menemukan sendiri letak kesalahan tersebut (Suwarsono, 2001:37).

Berdasarkan beberapa pendapat tadi maka dapat disimpulkan bahwa dalam pembelajaran dengan pendekatan konstrultivistis, siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri secara aktif melalui tugas-tugas atau masalah yang diajukan guru. Siswa menyelesaikan tugas-tugas atau memecahkan masalah tersebut berdasarkan pengetahuan yang telah mereka miliki kemudian mendiskusikannya dalam kelompok kooperatif.

Proses pembelajaran dengan strategi pembelajaran kooperatif dimulai dengan membagi siswa menjadi kelompok-kelompok kecil (4 – 5 siswa perkelompok). Setiap kelompok ditempatkan di dalam kelas sedemikian rupa sehingga antara anggota kelompok dapat belajar dan berdiskusi dengan baik tanpa mengganggu kelompok lainnya. Guru membagi materi pelajaran, baik berupa lembar kegiatan siswa, buku dan penugasan. Selanjutnya guru menjelaskan tujuan belajar yang ingin dicapai dan memberikan pengarahan tentang materi yang harus dipelajari dan permasalahan-permasalahan yang harus diselesaikan.

Untuk penugasan materi pelajaran atau menyelesaikan tugas-tugas yang telah ditentukan, setiap siswa dalam kelompok ikut bertanggung jawab secara bersama, yakni dengan cara berdiskusi, saling bertukar ide, pengetahuan dan pengalaman demi tercapainya tujuan pembelajaran secara bersama-sama. Kemampuan atau prestasi setiap anggota kelompok sangat menentukan hasil pencapaian belajar kelompok. Guru melakukan pemantauan terhadap kegiatan belajar siswa, mengarahkan keterampilan kerja sama dan memberikan bantuan pada saat diperlukan. Aktivitas belajar berpusat pada siswa, guru berfungsi sebagai fasilitator dan dinamisator.

Dalam pembelajaran kooperatif, Arends (1977: 11) menyatakan ada tiga tujuan utama yang

diharapkan dapat dicapai, yaitu:

1. Prestasi akademik
Pembelajaran kooperatif sangat menguntungkan baik bagi siswa berkemampuan tinggi maupun rendah. Khusus bagi siswa berkemampuan tinggi, mereka secara akademis akan mendapat keuntungan. Siswa dapat bertindak sebagai tutor yang memberi penjelasan kepada temannya. Agar dapat memberi penjelasan, siswa tersebut harus memahami materi lebih dalam dibanding sekedar kemampuan yang dibutuhkan untuk menjawab soal-soal. Dengan bertindak sebagai tutor, kemampuan verbal matematika siswa juga akan meningkat (Suherman, 2001: 220).
2. Penerimaan terhadap keanekaragaman
Heterogenitas yang ditonjolkan dalam pemilihan anggota kelompok akan mengarahkan siswa untuk mengakui dan menerima perbedaan yang ada diantara dirinya dan orang lain.
3. Pengembangan keterampilan sosial
Pembelajaran kooperatif bertujuan mengajarkan kepada siswa keterampilan-keterampilan kerjasama sebagai suatu tim. Keterampilan ini kelak akan sangat bermanfaat bagi siswa ketika mereka terjun di masyarakat.
Adapun keterampilan-keterampilan kooperatif dalam pembelajaran kooperatif, Lundgen (dalam Ratumanan, 2002: 111-113) menjelaskan rincian keterampilan-keterampilan kooperatif sebagai berikut:
a. Keterampilan-keterampilan kooperatif tingkat awal ada 13 butir, yaitu:
1) Menggunakan kesepakatan, yaitu menyamakan pendapat (opini).
2) Menghargai kontribusi, yaitu memperhatikan apa yang dikatakan atau dikerjakan oleh anggota lain dalam kelompok.
3) Menggunakan suara pelan, yaitu menggunakan suara pelan pelan sehingga tidak dapat didengar oleh meja lain (kelompok lain)
4) Mengambil giliran dan berbagi tugas, yaitu menggantikan teman dengan tugas tertentu dan tanggung jawab tertentu dalam kelompok
5) Berada dalam kelompok, yaitu tetap dalam kelompok kerja selama kegiatan berlangsung
6) Berada dalam tugas, yaitu tetap melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
7) Mendorong partisispasi, yaitu memotivasi semua anggota kelompok untuk memberikan kontribusi.
8) Mengundang orang lain untuk berbicara, yaitu meminta orang lain untuk berbicara dan berpartisipasi dalam tugas.
9) Menyelesaikan tugas tepat waktunya, yaitu menyelesaikan kegiatan sesuai dengan waktu yang direncanakan.
10) Menyebut nama dan memandang pembicara. Anggota kelompok merasa telah memberikan kontribusi penting ketika namanya disebut atau kontak mata terjadi.
11) Mengatasi gangguan, yaitu menghindari masalah yang dihasilkan dari adanya diversi atau kurangnya perhatian terhadap tugas.
12) Menolong tanpa menunjukkan jawaban, yaitu memberikan sejumlah bantuan tanpa menunjukkan penyelesaian.
13) Menghormati perbedaan individu, yaitu menghormati keunikan, pengalaman hidup, dan etnis dari semua siswa.
b. Keterampilan-keterampilan kooperatif tingkat menengah ada 12 butir, yaitu:
1) Menunjukkan penghargaan dan simpati, yaitu menunjukkan rasa hormat, pengertian, dan sensivitas terhadap opini (pendapat) yang berbeda.
2) Menggunakan pesan “saya”, yaitu menyatakan perasaan dengan menggunakan “saya” ketika berbicara. Sebagai contoh, katakan “saya tidak berfikir seperti itu” dari pada mengatakan “kamu salah”.
3) Mengungkapkan ketidak setujuan dengan cara yang dapat diterima, yaitu menyatakan opini atau jawaban yang berbeda dengan cara sopan dan sikap yang baik.
4) Mendengarkan dengan aktif, yaitu menggunakan pesan fisik atau verbal agar pembicara mengetahui bahwa anda secara energik menyerap informasi.
5) Bertanya, yaitu meminta atau menanyakan informasi atau klarifikasi lebih lanjut.
6) Membuat ringkasan, yaitu meringkas informasi.
7) Menafsirkan, yaitu menyampaikan kembali informasi dengan kalimat berbeda.
8) Mengatur dan mengorganisasikan, yaitu merencanakan dan menyusun pekerjaan sehingga dapat diselesaikan secara efektif dan efisien.
9) Memeriksa ketepatan, yaitu membandingkan jawaban, memastikan bahwa jawaban tersebut benar.
10) Menerima tanggung jawab, yaitu bersedia menuntaskan tugas-tugas dan kewajiban untuk diri sendiri dan kelompok.
11) Menggunakan kesabaran, yaitu bersikap toleransi, tetap pada pekerjaan dan bukan pada kesulitan-kesulitan, tidak membuat keputusan yang tergesa-gesa.
12) Tetap tenang/ mengurangi ketegangan, yaitu menciptakan suasana damai dalam kelompok.
c. Keterampilan-keterampilan kooperatif tingkat mahir ada 7 butir, yaitu:
1) Mengelaborasi, yaitu memperluas konsep, membuat kesimpulan dan menghubungkan pendapat-pendapat dengan topik tertentu.
2) Memeriksa dengan cermat (probing), yaitu menanyakan secara mendalam tentang suatu pokok pembicaraan untuk mendapatkan jawaban yang benar, misalkan dengan kata-kata “mengapa?” dan “dapatkah kamu berikan suatu contoh?”.
3) Menanyakan untuk justifikasi, yaitu menunjukkan bahwa jawaban benar atau memberikan alasan pada jawaban.
4) Menganjurkan suatu posisi, yaitu mengambil posisi dalam suatu masalah atau isu.
5) Menetapkan tujuan, yaitu menentukan prioritas-prioritas.
6) Berkompromi, yaitu menentukan isu-isu (pokok permasalahan) dengan persetujuan bersama. Kompromi membangun rasa hormat pada orang lain dan mengurangi konflik antar personal.
7) Menghadapi masalah khusus, yaitu menunjukkan masalah dengan memakai pesan “saya”, tidak menuduh, memanggil nama atau tidak menggunakan sindiran, menunjukkan bahwa hanya perilaku yang dapat di ubah bukan kegagalan atau ketidakmampuan pribadi, bertujuan untuk menyelesaikan masalah bukan memenangkan masalah.

Adapun semua keterampilan kooperatif tersebut (tidak langsung keseluruhan) dilatihkan dalam kegiatan pembelajaran, tetapi dapat dipilih sedikit demi sedikit yang dianggap sesuai dengan kepentingan hingga mencapai harapan dan seluruh keterampilan kooperatif yang ada.

Ada enam fase utama dalam pembelajaran kooperatif. Tabel 2.2 menyajikan fase pembelajaran kooperatif menurut Arends (1997: 113).
C. Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD (Student Team Achievement Division)
STAD merupakan salah satu model pembelajaran kooperatif yang paling sederhana. Sehingga model pembelajaran ini dapat digunakan oleh guru-guru yang baru memulai menggunakan pendekatan pembelajaran kooperatif. Perencanaan pembelajaran kooperatif tipe STAD disusun berdasarkan siklus yang tetap pada pengajarannya (Slavin, 2000: 269).
1. Siklus Pembelajaran Kooperatif tipe STAD
STAD terdiri dari siklus kegiatan pengajaran yang tetap sebagai berikut:
a. Mengajar : mempresentasikan pelajaran.
b. Belajar dalam tim: siswa bekerja di dalam tim mereka dengan menggunakan Lembar Kegiatan Siswa untuk menuntaskan materi pelajaran.
c. Tes: siswa mengerjakan kuis atau tugas lain secara individual.
d. Pengahargaan tim: skor tim dihitung berdasarkan skor peningkatan anggota tim, sertifikat, laporan berkala kelas, atau papan pengumuman digunakan untuk memberi penghargaan kepada tim yang berhasil mencetak skor tertinggi.

Pada dasarnya siklus pembelajaran kooperatif tipe STAD, mengacu pada sintaks pembelajaran kooperatif dengan menggabungkan fase 1 dan fase 2 ke dalam kegiatan mengajar, dan fase 3 dan fase 4 ke dalam kegiatan belajar dalam tim. Sedangkan fase 5 dan fase 6 pada pembelajaran kooperatif masuk pada kegiatan tes dan penghargaan kelompok pada pembelajaran kooperatif tipe STAD.
2. Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif tipe STAD
Slavin (dalam Nur, 1998: 24) menguraikan langkah-langkah mengantar siswa kepada STAD adalah sebagai berikut:
a. Bagilah siswa ke dalam kelompok masing-masing terdiri dari empat atau lima anggota. Pastikan bahwa kelompok yang terbentuk itu berimbang dalam hal kinerja akademik, jenis kelamin dan asal suku.
b. Buatlah Lembar Kegiatan Siswa (LKS) dan kuis pendek untuk pelajaran yang anda rencanakan untuk diajarkan.
c. Pada saat anda menjelaskan STAD kepada kelas anda, bacakan tugas-tugas yang harus dikerjakan tim.
d. Bila tiba saatnya memberikan kuis, bagikan kuis atau bentuk evaluasi yang lain, dan berikan waktu yang cukup untuk menyelesaikan tes itu.
e. Pengakuan kepada prestasi tim, segera setelah anda menghitung poin untuk siswa dan menhitung skor tim.

Adapun penerapan pembelajaran kooperatif tipe STAD menurut Slavin (1995), STAD terdiri dari lima komponen utama yaitu, presentasi kelas, kelompok, kuis (tes), skor peningkatan individual dan

penghargaan kelompok. Masing-masing komponen akan diuraikan sebagai berikut:

1. Presentasi Kelas
Materi dalam STAD disampaikan pada presentasi kelas. Presentasi kelas ini biasanya menggunakan pengajaran langsung (direct instruction) atau ceramah, dilakukan oleh guru. Presentasi kelas dapat pula menggunakan audiovisual. Presentasi kelas ini meliputi tiga komponen, yakni pendahuluan, pengembangan dan praktek terkendali.
2. Kelompok
Kelompok terbentuk terdiri dari empat atau lima siswa, dengan memperhatikan perbedaan kemampuan, jenis kelamin dan ras atau etnis. Fungsi utama kelompok adalah memastikan bahwa semua anggota kelompok terlibat dalam kegiatan belajar, dan lebih khusus adalah mempersiapkan anggota kelompok agar dapat menjawab kuis (tes) dengan baik. Termasuk belajar dalam kelompok adalah mendiskusikan masalah, membandingkan jawaban dan meluruskan jika ada anggota kelompok yang mengalami kesalahan konsep.
3. Kuis (tes)
Setelah beberapa periode presentasi kelas dan kerja kelompok, siswa diberikan kuis individual. Siswa tidak diperkenankan saling membantu pada saat kuis berlangsung.
4. Skor Peningkatan Individual
Penilaian kelompok berdasarkan skor peningkatan individu, sedangkan skor peningkatan tidak didasarkan pada skor mutlak siswa, tetapi berdasarkan pada seberapa jauh skor itu melampaui rata-rata skor sebelumnya. Setiap siswa dapat memberikan kontribusi poin maksimum pada kelompoknya dalam sistem skor kelompok. Siswa memperoleh skor untuk kelompoknya didasarkan pada skor kuis mereka melampaui skor dasar mereka.
5. Penghargaan Kelompok
Kelompok dapat memperoleh sertifikat atau hadiah jika rata-rata skornya melampaui kriteria tertentu.
Kegiatan pembelajaran dengan menggunakan model kooperatif tipe STAD pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan 5 fase, adapun fase-fase kegiatan itu sebagai berikut:

Fase 1
Menyampaikan indikator pencapaian hasil belajar dan memotivasi siswa. Guru menyampaikan indikator pencapaian hasil belajar yang ingin dicapai dalam materi pelajaran secara lisan dan memotivasi siswa untuk mempelajari materi yang diajarkan dan memberikan informasi keuntungan dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD secara lisan.
Fase 2
Menyajikan materi, guru menyampaikan dan menyajikan materi yang dipelajari secara klasikal yang terdapat di dalam lembar kegiatan siswa (LKS). Dan siswa diberikan kesempatan untuk menanyakan penjelasan guru apabila ada materi yang kurang dimengerti.
Fase 3:
Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok dan membimbing kelompok bekerja dan belajar. Adapun kegiatan-kegiatan dalam fase ini diantaranya adalah sebagai berikut:
Membentuk kelompok-kelompok kecil (terdiri 4 – 5 siswa) secara heterogen yang telah ditentukan oleh guru.Ø

Menginformasikan pada siswa untuk mengerjakan tugas secara berkelompok dan setiap anggota kelompok bertanggungjawab pada kelompok masing-masing dan terhadap diri sendiri.Ø
Menyuruh siswa mengerjakan soal dalam LKS secara berkelompok. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya siswa mengerjakan secara mandiri atau berpasangan dan selanjutnya dicocokkan dan didiskusikan ketepatan jawabannya dengan teman sekelompok. Dan jika ada anggota kelompok yang belum memahami, maka teman sekelompoknya yang sudah faham menjelaskan, sebelum meminta bantuan kepada guru.Ø
Selama siswa dalam kegiatan kelompok, guru bertindak sebagai fasilitator yang mengawasi dan mengamati setiap kegiatan kelompok.Ø
Menyuruh beberapa siswa untuk mempresentasikan hasil kerja kelompoknya dan kelompok yang lain menanggapi.Ø
Fase 4:
Penghargaan kelompok, penghargaan kelompok dilakukan dalam dua tahap perhitungan, yaitu:
1) Menghitung skor individu dan skor kelompok
Cara pemberian skor pada pembelajaran kooperatif tipe STAD sangat berperan untuk memotivasi siswa bekerja sama dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran yang diberikan. Setelah siswa mempelajari materi secara berkelompok, setiap siswa mengerjakan kuis secara individual dan memperoleh skor kuis serta nilai perkembangan. Nilai perkembangan bergantung pada kemajuan yang dicapai siswa dengan memperhatikan skor kuis atau skor dasar siswa. Skor dasar siswa adalah rata-rata skor siswa yang bersangkutan untuk kuis-kuis terdahulu, dengan syarat materi yang diujikan pada kuis-kuis tersebut masih berada dalam satu topik. Jika belum pernah diadakan kuis untuk topik tersebut, maka skor dasar siswa adalah skor tes awal.
Selanjutnya untuk menghitung skor kelompok, Slavin (1995: 80) mengungkapkan bahwa untuk menghitung skor kelompok, catatlah masing-masing poin kemajuan anggota kelompok di atas lembar rekapitulasi kelompok dan bagilah jumlah poin kemajuan anggota kelompok dengan banyak anggota kelompok yang hadir dan bulatkan pecahannya.
2) Menghargai prestasi kelompok
Kemudian berkaitan dengan banyaknya tingkat penghargaan kelompok, menurut Slavin (1995: 80) ada tiga tingkat penghargaan yang disediakan didasarkan pada skor rata-rata kelompok, seperti tertera pada tabel berikut.

D. Teori- teori yang Terkait dengan Pembelajaran Kooperatif tipe STAD
1. Teori Piaget

Menurut Piaget (dalam Dahar, 1989: 150), perkembangan intelektual didasarkan pada dua fungsi, yaitu organisasi dan adaptasi. Organisasi memberikan kemampuan untuk mensistematikkan atau mengorganisasikan proses-proses psikologis menjadi sitem-sistem yang teratur dan berhubungan. Setiap orang memiliki kecenderungan untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi pada lingkungannya. Cara adaptasi ini berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.
Adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses, yaitu asimilasi dan akomodasi. Menurut Piaget (dalam Hudojo, 1988: 47), asimilasi adalah proses mendapatkan informasi dan pengalaman baru yang langsung menyatu dengan struktur mental yang sudah dimiliki seseorang. Sedangkan akomodasi adalah proses menstrukturkan kembali mental sebagai akibat adanya informasi dan pengalaman baru tadi.

Andaikan dengan proses asimilasi tidak dapat mengadakan adaptasi pada lingkungannya, terjadilah ketidakseimbangan. Akibat ketidakseimbangan ini maka terjadilah akomodasi, dan struktur yang ada mengalami perubahan atau struktur baru timbul. Pertumbuhan intelektual merupakan proses terus-menerus tentang keadaan ketidakseimbangan dan keadaan seimbang. Tetapi, bila terjadi kembali keseimbangan maka individu itu berada pada tingkat intelektual yang lebih tinggi daripada sebelumnya. Jadi, adaptasi merupakan suatu keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi, dan inilah yang diterapkan di kelas.
Implikasi teori piaget (Slavin, 2000: 41) dalam pembelajaran adalah sebagai berikut:
a. Memusatkan perhatian kepada proses berfikir atau proses mental siswa, bukan kepada kebenaran jawaban siswa saja. Disamping kebenaran siswa, guru harus memahami proses yang digunakan anak sehingga sampai pada jawaban itu.
b. Mengutamakan peranan siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan belajar. Dalam kegiatan belajar di kelas, pengetahuan jadi tidak mendapat penekanan melainkan anak didorong menemukan sendiri melalui interaksi dengan lingkungannya.
c. Memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam kemajuan perkembangan kognitif siswa. Sehingga guru harus melakukan upaya untuk mengatur kegiatan kelas dalam bentuk individu-individu atau kelompok-kelompok kecil, atau bahkan secara klasikal.
Dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD pada fase tiga yaitu mengorganisasikan siswa dalam kelompok-kelompok belajar, salah satu syarat keanggotaan kelompok belajar adalah mempertimbangkan tingkat kepandaian anak, karena adanya perbedaan individu. Ini sesuai dengan teori Piaget bahwa adanya perbedaan individu dalam hal kemajuan urutan perkembangan yang sama, namun pertumbuhan itu berlangsung pada kecepatan yang berbeda. Sehingga hal ini perlu dipertimbangkan pada saat membentuk kelompok-kelompok belajar supaya menjadi heterogen.

Dalam kelompoknya siswa saling berdiskusi tentang masalah-masalah yang menjadi tugas kelompoknya masing-masing. Sesuai dengan teri Piaget pada fase tiga ini akan terjadi siswa harus berinteraksi dengan lingkungannya yaitu anggota kelompok, siswa akan aktif memanipulasi dan berusaha memecahkan masalah yang dihadapi. Guru membimbing kelompok-kelompok belajar yang mendapat kesulitan pada saat mereka mengerjakan tugas, sehingga siswa tetap termotivasi dan merasa mendapat dorongan untuk menemukan sendiri. Dengan demikian sumbangan penting dari teori piaget pada pembelajaran kooperatif tipe STAD ada pada kegiatan mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok dan membimbing kelompok belajar dan bekerja dalam tim (fase 3).
2. Teori Vigotsky
Menurut Slavin (dalam Nur, 1998: 3-5) teori Vigotsky menekankan pada empat prinsip utama dalam pembelajaran, yaitu (1) hakekat sosial dari pembelajaran (the sosiocultural nature of learning), (2) Zona perkembangan terdekat (zone of proximal development), (3) Pemagangan kognitif (cogitive appreticeship), (4) Scaffolding atau mediated learning.
1. Hakekat sosial dari pembelajaran
Vigotsky mengemukakan bahwa siswa belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya akan lebih mampu. Pada pembelajaran kooperatif, siswa dihadapkan pada proses berfikir teman sebaya mereka. Cara ini tidak hanya membuat hasil belajar mereka terbuka untuk seluruh siswa, tetapi juga membuat proses berfikir siswa lain terbuka untuk seluruh siswa.
2. Zona perkembangan terdekat
Vigotsky yakin bahwa pembelajaran akan berjalan dengan baik, apabila konsep yang dipelajari oleh siswa berada dalam zona perkembangan terdekat mereka. Siswa sedang bekerja di dalam zona perkembangan terdekat mereka selesaikan sendiri, tetapi dapat menyelesaikannya bila dibantu oleh teman sebaya mereka atau orang dewasa. Pada saat sedang bekerja bersama, kemungkinan sekali ada tingkat kinerja salah seorang anggota kelompok pada suatu tugas tertentu berada pada tingkat kognitif sedikit lebih tinggi dari tingkat kinerja anak tersebut, ini berarti tugas tersebut tepat berada di dalam zona perkembangan terdekat anak tersebut.
3. Pemagangan kognitif
Konsep pemagangan kognitif diturunkan dari teori Vigotsky yang menekankan pada hakekat sosial dari pembelajaran dan zona perkembangan terdekat. Pemagangan kognitif mengacu pada proses dimana seseorang yang sedang belajar secara tahap demi tahap memperoleh keahlian melalui interaksi dengan seorang pakar. Kemudian, yang dimaksudkan dengan seorang pakar adalah mereka dapat orang dewasa, atau kawan sebaya yang telah menguasai permasalahannya. Mengajar siswa di kelas merupakan suatu bentuk pemagangan. Dalam pembelajaran kooperatif dengan komposisi anggota kelompok yang heterogen, tentunya siswa yang lenih pandai dalam kelompoknya dapat merupakan pakar bagi teman-teman dalam kelompoknya.
4. Scaffolding atau mediated learning
Slavin (1994: 49) mengemukakan bahwa, “Scaffolding means providing a child with a great deal of support during the early stages of learning and then diminishing support and having the child take on increasing responsibiliy as soon as he or she is able”. Dengan demikian yang dimaksudkan dengan memberikan scaffolding adalah memberikan kepada siswa sejumlah bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengambil tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia mampu melakukan tugas tersebut secara mandiri.
Terdapat dua implikasi utama dari teori Vigotsky dalam pembelajaran yaitu sebagai berikut:
a) Menghendaki setting kelas berbentuk pembelajaran kooperatif, sehingga siswa dapat saling berinteraksi dalam mengerjakan tugas-tugas mereka yang sulit tetapi masih dalam zone proximal development mereka yaitu tingkat perkembangan sedikit di atas perkembangan siswa pada saat itu. Interaksi sosial ini akan mendorong terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual siswa. Dengan demikian masing-masing siswa dapat saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.
b) Pendekatan Vigotsky dalam pembelajaran menekankan scaffolding, dengan siswa semakin lama bertanggung jawab terhadap pembelajaran sendiri. Slavin, 2000: 46).

Dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD pada fase tiga yaitu mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar yang heterogen hal ini untuk membantu siswa memperoleh keahlian melalui interaksi dengan siswa lainnya yang lebih menguasai. Sesuai dengan teori Vigotsky yang pertama dan ketiga yaitu siswa belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya serta pemagangan kognitif, proses siswa secara bertahap memperoleh keahlian dalam interaksinya dengan seorang pakar, baik dengan orang dewasa maupun orang yang lebih tua atau teman sebaya yang lebih menguasai. Pada fase tiga dalam belajar kelompok, penugasan ini diberikan kepada siswa yang masih dalam proses berfikir yang sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki siswa untuk memperoleh penyelesaian dari tugas atau masalah. Hal ini sesuai dengan teori Vigotsky yang pertama, kedua dan keempat yaitu siswa belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya, siswa belajar paling baik bila berada pada zona perkembangan terdekat serta guru memberi bantuan kepada siswa yang kemudian mengurangi bantuannya secara sedikit demi sedikit sampai siswa dapat mengerjakan tugas secara mandiri.

E. Keunggulan dan Kekurangan Pembelajaran Kooperatif tipe STAD
Suatu strategi pambelajaran mempunyai keunggulan dan kekurangan. Demikian pula dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD. Pembelajaran kooperatif tipe STAD mempunyai beberapa keunggulan (Slavin, 1995:17) diantaranya sebagai berikut:
1. Siswa bekerja sama dalam mencapai tujuan dengan menjunjung tinggi norma-norma kelompok.
2. Siswa aktif membantu dan memotivasi semangat untuk berhasil bersama.
3. Aktif berperan sebagai tutor sebaya untuk lebih meningkatkan keberhasilan kelompok.
4. Interaksi antar siswa seiring dengan peningkatan kemampuan mereka dalam berpendapat.
Selain keunggulan tersebut pembelajaran kooperatif tipe STAD juga memiliki kekurangan-kekurangan, menurut Dess (1991:411) diantaranya sebagai berikut:
1. Membutuhkan waktu yang lebih lama untuk siswa sehingga sulit mencapai target kurikulum.
2. Membutuhkan waktu yang lebih lama untuk guru sehingga pada umumnya guru tidak mau menggunakan pembelajaran kooperatif.
3. Membutuhkan kemampuan khusus guru sehingga tidak semua guru dapat melakukan pembelajaran kooperatif.
4. Menuntut sifat tertentu dari siswa, misalnya sifat suka bekerja sama.

Kekurangan-kekurangan yang ada pada pembelajaran kooperatif masih dapat diatasi atau diminimalkan. Penggunaan waktu yang lebih lama dapat diatasi dengan menyediakan lembar kegiatan siswa (LKS) sehingga siswa dapat bekerja secara efektif dan efisien. Sedangkan pembentukan kelompok dan penataan ruang kelas sesuai kelompok yang ada dapat dilakukan sebelum kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Dengan demikian, dalam kegiatan pembelajaran tidak ada waktu yang terbuang untuk pembentukan kelompok dan penataan ruang kelas.
Pembelajaran kooperatif memang memerlukan kemampuan khusus guru, namun hal ini dapat diatasi dengan melakukan latihan terlebih dahulu. Sedangkan kekurangan-kekurangan yang terakhir dapat diatasi dengan memberikan pengertian kepada siswa bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu, siswa merasa perlu bekerja sama dan berlatih bekerja sama dalam belajar secara kooperatif.

DAFTAR PUSTAKA
Arends, Richard I. 1997. “Classroom Intruction and Management”. New York: ME Graw Hill Companies, Inc.
Arikunto, Suharsimi. 1999. “Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan”. (edisi revisi). Jakarta: Bumi Aksara.
Dees, Robert L. 1991. “The Role of Cooperative Learning in Increasing Problem Solving Ability in a College Remedial Course. Journal for Research in Mathematics Education.
Hudoyo, H. 1998. “Mengajar Belajar Matematika”. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.
---------, H. 1998. Pembelajaran Matematika menurut Pandangan Konstruktivis”. Malang: PPs IKIP Malang.
Ibrahim, M dkk. 2000. “Pembelajaran Kooperatif”. Surabaya: University Press.
Nur Muhammad, 1996. “Pembelajaran Kooperatif”. Surabaya: IKIP Surabaya University Press.
---------------------, 1998. “Pendekatan-pendekatan konstruktivisme dalam Pembelajaran IKIP Surabaya.
Post. Rh.R. 1992. “Theaching Mathematics in Grades K-8: Research-Based Methods. Massachussets: A Division of Simon & Schuster. Inc.
Russefendi. E.T. 1979. “Dasar-dasar Matematika Modern”. Bandung: Tarsito.
Ratumanan, Tanwey G. 2002. “Belajar dan Pembelajaran”. Surabaya: UNESA University Press.
Slameto. 1980. “Belajar dan Faktor-faktor yang mempengaruhinya”. Cetakan ke dua. Jakarta: Rineka Cipta.
Soedjadi, R. 2000. “Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia”. Jakarta: Depdikbud.
Slavin, Robert, E. 1994. “ Educational Psychology: Theory and Practice”. Massachussetts, Allyn and Bacon Publisher.
--------------------. 1995. “Cooperative Learning Theory and Practice”. Secon Edition. Massachussets: Allyn and Bacon Publisher.
--------------------. 2000. “Educational Psychology Theory and Practice”. Sixth Edition. Massachussets: Allyn and Bacon Publisher.
Suherman, Erman. 2001. “Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer”. Bandung: JICA – UPI.

Sumber : http://karmawati-yusuf.blogspot.com/2009/01/pembelajaran-matematika-dengan.html