BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Matematika sebagai salah satu ilmu dasar mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari serta dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada umumnya. Oleh karena itu matematika merupakan salah satu mata pelajaran pokok di sekolah baik di sekolah dasar, sekolah lanjutan sampai dengan perguruan tinggi. Matematika perlu dipelajari oleh siswa karena matematika merupakan sarana berfikir untuk menumbuh kembangkan pola berfikir logis, sistematis, obyektif, kritis dan rasional.
Usaha perbaikan dan peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia telah lama dilakukan, termasuk kualitas pendidikan matematika sekolah. Namun usaha tersebut belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Kenyataan di lapangan menunjukkan adanya kesenjangan sangat besar antara kenyataan dengan hasil yang diharapkan. Prestasi belajar siswa dalam bidang studi matematika masih tergolong rendah bila dilihat dari hasil Ebtanas. Wardiman Djoyonegoro (dalam La Masi, 2002: 2) mengemukakan bahwa pencapaian NEM siswa pada semua jenjang pendidikan nilai dari SD sampai dengan SMU di bidang MIPA hampir selalu terendah dibanding dengan bidang studi lain. Hal senada juga dikemukakan Marpaung (dalam La Masi, 2002: 2) bahwa nilai rata-rata siswa dalam Ebtanas selalu rendah, paling tinggi rata-rata itu “cukup” dan bahkan sering kali dibawah cukup jika dibandingkan dengan mata pelajaran lain, matematika berada pada urutan di bawah.
Rendahnya prestasi belajar yang dicapai siswa mungkin saja disebabkan pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif belum sepenuhnya dilaksanakan. Pembelajaran secara konvensional yang terlaksana sampai saat ini di sekolah-sekolah, guru terlalu mendomonasi pembelajaran sehingga keterlibatan peserta didik dalam proses pembelajaran masih sangat kurang. Pada pembelajaran konvensional, siswa bukan lagi sebagai subyek pembelajaran melainkan obyek pembelajaran. Keadaan seperti ini sangat mengurangi tanggung jawab siswa atas tugas belajarnya, siswa seharusnya dituntut untuk mengkonstruksi, menemukan dan mengembangkan kemampuannya serta dapat mengungkapkan dalam bahasa sendiri tentang apa yang diterima dan diolah selama pembelajaran berlangsung.
Strategi pembelajaran yang melibatkan siswa aktif adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan proses belajar disamping hasil belajar yang akan diperoleh. Hal ini berarti siswa diharapkan agar secara aktif dapat membangun atau membentuk sendiri pengetahuan yang dipelajari dalam pembelajaran. Salah satu strategi pembelajaran yang melibatkan siswa aktif tersebut adalah pembelajaran yang menggunakan pendekatan konstruktivistis. Teori konstruktivistis memandang bahwa siswa hendaknya terus-menerus mengecek informasi-informasi baru dengan aturan-aturan lama, dan memperbaikinya bilamana sudah tidak sesuai lagi. Oleh karena itu, sebaiknya pembelajaran di kelas saat ini sudah mulai dengan menerapkan pembelajaran yang menganut pendekatan konstruktivistis. Menurut Davidson dan Kroll (dalam Tamrin, 2002), salah satu strategi pembelajaran matematika yang berorientasi pada pendekatan konstruktivistis adalah pembelajaran kooperatif. Menurut Slavin (1994: 227) dalam pembelajaran kooperatif siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka dapat saling mendiskusikan masalh-masalah tersebut dengan teman-temannya. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengeluarkan pendapatnya sendiri, mendengar pendapat temannya, dan bersama-sama membahas permasalahan yang diberikan guru.
Dalam memilih strategi pembelajaran diperlukan beberapa pertimbangan, antara lain adalah keadaan siswa, keadaan sekolah, lingkungan belajar yang dapat menunjang kemajuan IPTEK dan kemajuan kehidupan sosial di masyarakat, serta tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa keadaan siswa di sekolah-sekolah pada umumnya adalah heterogen. Maksud heterogen disini adalah heterogen dalam jenis kelamin, agama, tingkat kehidupan sosial, kemampuan akademik dan suku/ras.
Pembelajaran kooperatif merupakan strategi pembelajaran yang menempatkan siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil (beranggotakan 4-5 siswa) dengan tingkat kemampuan yang berbeda serta menekankan kerjasama dan tanggung jawab kelompok dalam mencapai tujuan yang sama. Ada beberapa tipe pembelajaran kooperatif, mulai dari yang sederhana sampai dengan yang sangat kompleks. Menurut Slavin (1995: 52) tipe pembelajaran kooperatif diantaranya adalah Student Teams Achievement Divisisons (STAD), Jigsaw, Teams Games Tournament (TGT), dan Team Assisted Individualization (TAI). Pada dasarnya keempat pembelajaran kooperatif tersebut adalah sama, yaitu mengutamakan kerjasama kelompok. Namun dalam setting struktur tugas utama, keempat tipe kooperatif tersebut berbeda satu dengan yang lainnya.
Menurut Slavin (dalam ibrahim, dkk, 2000: 16) telah melakukan dan melaporkan bahwa prestasi dari kelas kooperatif menunjukkan hasil belajar akademik yang signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif memiliki dampak yang amat positif untuk siswa yang rendah hasil belajarnya. Linda Lundgren (dalam Ibrahim, 2000: 17) hasil-hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tehnik-tahnik pembelajaran kooperatif lebih unggul dalam meningkatkan hasil belajar dibandingkan dengan pengalaman-pengalaman belajar individual atau kompetitif.
Pembelajaran kooperatif tipe STAD, jika dibandingkan dengan tipe yang lain dari pembelajaran kooperatif maka STAD adalah suatu tipe pembelajaran kooperatif yang sederhana. Hal ini terlihat dalam pelaksanaannya, yaitu presentasi kelas, kegiatan kelompok, melaksanakan evaluasi dan penghargaan kelompok. Sehingga strategi pembelajaran tersebut dapat digunakan oleh guru-guru yang baru memulai menggunakan pembelajaran kooperatif.
Dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD, materi pembelajaran dirancang sedemikian rupa untuk pembelajaran secara berkelompok. Dengan menggunakan lembaran kegiatan atau perangkat pembelajaran lain, siswa bekerja bersama-sama (berdiskusi) untuk menuntaskan materi. Mereka saling membantu satu sama lain untuk memahami bahan pelajaran, sehingga dipastikan semua anggota telah mempelajari materi tersebut secara tuntas.
Kalau dibandingkan dengan pembelajaran konvensional (Pambelajaran yang biasa diterapkan di sekolah) jelas tidak jauh berbeda, sehingga siswa dan guru-guru yang baru mulai menggunakan pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat secepatnya menyesuaikan diri. Hanya dalam hal ini, pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam kegiatankelompoknya menggunakan aturan-aturan tertentu. Misalnya siswa dalam satu kelompok harus heterogen, baik dalam kemampuan maupun jenis kelamin atau etnis, siswa yang menguasai bahan pelajaran lebih dulu harus membantu teman kelompoknya yang belum menguasai pelajaran.
Berdasarkan uraian di atas, penulis termotivasi untuk menerapkan pembelajaran kooperatif tipe STAD untuk diterapkan pada materi bilangan pecahan. Dengan pembelajaran kooperatif siswa diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar matematika.
B. Rumusan Pertanyaan
Berdasarkan latar belakang sebagaimana dikemukakan di atas, maka rumusan pertanyaan pada penelitian ini adalah: “Bagaimanakah hasil belajar siswa dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD di Sekolah Dasar?
C. Tujuan Penulisan
Sesuai dengan rumusan pertanyaan di atas, maka tujuan penulisan ini adalah untuk memperbaiki kualitas pembelajaran matematika dengan pendekatan pembelajaran kooperatif tipe STAD.
D. Batasan Istilah
Untuk menghindari terjadinya perbedaan penafsiran, penulis memandang perlu untuk mengemukakan beberapa batasan istilah berikut ini:
1. Pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang menempatkan siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil (beranggotakan 4-5 siswa) dengan anggota yang heterogen baik dalam kemampuan akademik maupun jenis kelamin atau etnis, serta menekankan kerjasama dan tanggung jawab kelompok dalam mencapai tujuan.
2. Student Team Achievement Division (STAD) merupakan tipe pembelajaran kooperatif yang dalam pelaksanaannya meliputi: menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa, menyajikan informasi, mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar, belajar dalam kelompok, evaluasi, dan memberikan penghargaan.
E. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan ini diharapkan:
1. Sebagai alternatif dalam kegiatan pembelajaran, dalam upaya peningkatan kualitas pembelajaran matematika khususnya di Sekolah Dasar.
2. Sebagai bahan masukan bagi peneliti untuk mengadakan penelitian pembelajaran matematika.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakekat Belajar Matematika
1. Pengertian Belajar
Hudojo (1988: 1) mengemukakan bahwa seseorang dikatakan belajar bila diasumsikan dalam diri orang itu terjadi suatu proses kegiatan yang mengakibatkan perubahan tingkah laku. Selanjutnya Winkel (1989: 36) mendifinisikan belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan nilai sikap.
Slameto (1980: 2) mengemukakan bahwa secara psikologis belajar merupakan suatu proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya lebih jauh dikatakan bahwa perubahan tingkah laku dalam belajar adalah: (1) perubahan ini terjadi secara sadar, (2) perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional, (3) perubahan dalam belajar bersifat/bernilai positif dan aktif, (4) perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara, dan (5) perubahan belajar bertujuan dan terarah.
Sedang Rusyan (1989: 8) mengemukakan pendapatnya tentang belajar, sebagai berikut: belajar dalam arti yang luas adalah proses perubahan tingkah laku yang dinyatakan dalam bentuk penguasaan, penggunaan, dan penilaian mengenai sikap dan nilai-nilai, pengetahuan dan kecakapan dasar yang terdapat dalam berbagai bidang studi, atau lebih luas lagi dalam berbagai aspek kehidupan atau pengalaman yang terorganisasi.
Dari beberapa pendapat di atas, dapatlah disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku yang bersifat positif dalam diri seseorang. Perubahan tingkah laku yang diakibatkan oleh belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk, misalnya bertambahnya pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan perubahan sikap. Salah satu contoh hasil dari usaha belajar Bilangan Pecahan adalah dari belum memiliki pengetahuan tentang Bilangan Pecahan menjadi memiliki pengetahuan tentang Bilangan Pecahan.
2. Belajar Matematika
Soedjadi (2000: 1) mengemukakan bahwa ada beberapa definisi atau pengertian matematika berdasarkan sudut pandang pembuatnya, yaitu sebagai berikut:
a) Matematika adalah cabang ilmu pengetahuan eksak dan terorganisisr secara sistematik
b) Matematika adalah pengetahuan tentang bilangan dan kalkulasi
c) Matematika adalah pengetahuan tentang penalaran logik dan berhubungan dengan bilangan.
d) Matematika adalah pengetahuan fakta-fakta kuantitatif dan masalah tentang ruang dan bentuk.
e) Matematika adalah pengetahuan tentang struktur-struktur yang logik
f) Matematika adalah pengetahuan tentang aturan-aturan yang ketat.
Meskipun terdapat beraneka ragam definisi matematika, namun jika diperhatikan secara seksama, dapat terlihat adanya ciri-ciri khusus yang dapat merangkum pengertian matematika secara umum. Selanjutnya Soedjadi (2000: 13) mengemukakan beberapa ciri-ciri khusus dari matematika adalah:
a) Memiliki objek kajian yang abstrak
b) Bertumpu pada kesepakatan
c) Berpola pikir deduktif,
d) Memiliki simbol yang kosong dari arti,
e) Memperhatikan semesta pembicaraan,
f) Konsisten dalam sistemnya.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dapat dikatakan bahwa hakekat matematika adalah kumpulan ide-ide yang bersifat abstrak, terstruktur dan hubungannya diatur menurut aturan logis berdasarkan pola pikir deduktif.
Belajar matematika tidak ada artinya jika hanya dihafalkan saja. Dia baru mempunyai makna bila dimengerti. Orton (1991: 154) mengemukakan bahwa hendaknya siswa tidak belajar matematika hanya dengan menerima dan menghafalkan saja, tetapi harus belajar secara bermakna, belajar bermakna merupakan suatu cara belajar dengan pengertian dari pada hafalan.
Soedjadi (1985) menyatakan bahwa untuk menguasai matematika diperlukan cara belajar yang berurutan, setapak demi setapak dan bersinambungan. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Hudojo (1988: 4) yang mengatakan bahwa untuk mempelajari matematika haruslah bertahap, berurutan, serta mendasarkan kepada pengalaman belajar yang lalu. Lebih lanjut dikatakan bahwa proses belajar matematika akan terjadi dengan lancar bila belajar itu dilakukan secara kontinu.
Uraian di atas menunjukkan bahwa belajar matematika memerlukan pengertian dan dalam mempelajari proses pembelajarannya haruslah dilakukan secara bertahap, berurutan dan berkesinambungan.
B. Pembelajaran Kooperatif
Slavin (1994: 287) mengemukakan bahwa:
Cooperatif learning refers to instructional methods in which student work together in small groups to help each other learn.
Pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang di dalamnya mengkondisikan para siswa bekerja bersama-sama di dalam kelompok-kelompok kecil untuk membantu satu sama lain dalam belajar. Pembelajaran kooperatif di dasarkan pada gagasan atau pemikiran bahwa siswa bekerja bersama-sama dalam belajar, dan bertanggung jawab terhadap aktivitas belajar kelompok mereka seperti terhadap diri mereka sendiri. Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu model pembelajaran yang menganut paham konstruktivisme.
Slavin (2000: 259) menyatakan:
Construktivist approaches to teaching typically make extensive use of cooperative learning, on the theory that student will more easily discover and comprehend difficult concepts if they can talk with each other about the problems.
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa pendekatan konstruktivis dalam pengajaran secara khusus membuat belajar kooperatif ekstensif, secara teori siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka dapat saling mendiskusikannya dengan temannya.
Pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang mengutamakan kerjasama antar siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Menggunakan pembelajaran kooperatif merubah peran guru dari peran yang berpusat pada gurunya ke pengelolaan siswa dalam kelompok-kelompok kecil. Menurut teori konstruktivistis, tugas guru (pendidik) adalah menfasilitasi agar proses pembentukan (konstruksi) pengetahuan pada diri tiap-tiap siswaterjadi secara optimal. Sebagai contoh, jika seorang siswa membuat suatu kesalahn dalam mengerjakan sebuah soal, meka guru tidak langsung memberitahukan dimana letak kesalahannya. Sebaiknya guru mengajukan beberapa pertanyaan untuk menuntun siswa supaya pada akhirnya siswa menemukan sendiri letak kesalahan tersebut (Suwarsono, 2001:37).
Berdasarkan beberapa pendapat tadi maka dapat disimpulkan bahwa dalam pembelajaran dengan pendekatan konstrultivistis, siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri secara aktif melalui tugas-tugas atau masalah yang diajukan guru. Siswa menyelesaikan tugas-tugas atau memecahkan masalah tersebut berdasarkan pengetahuan yang telah mereka miliki kemudian mendiskusikannya dalam kelompok kooperatif.
Proses pembelajaran dengan strategi pembelajaran kooperatif dimulai dengan membagi siswa menjadi kelompok-kelompok kecil (4 – 5 siswa perkelompok). Setiap kelompok ditempatkan di dalam kelas sedemikian rupa sehingga antara anggota kelompok dapat belajar dan berdiskusi dengan baik tanpa mengganggu kelompok lainnya. Guru membagi materi pelajaran, baik berupa lembar kegiatan siswa, buku dan penugasan. Selanjutnya guru menjelaskan tujuan belajar yang ingin dicapai dan memberikan pengarahan tentang materi yang harus dipelajari dan permasalahan-permasalahan yang harus diselesaikan.
Untuk penugasan materi pelajaran atau menyelesaikan tugas-tugas yang telah ditentukan, setiap siswa dalam kelompok ikut bertanggung jawab secara bersama, yakni dengan cara berdiskusi, saling bertukar ide, pengetahuan dan pengalaman demi tercapainya tujuan pembelajaran secara bersama-sama. Kemampuan atau prestasi setiap anggota kelompok sangat menentukan hasil pencapaian belajar kelompok. Guru melakukan pemantauan terhadap kegiatan belajar siswa, mengarahkan keterampilan kerja sama dan memberikan bantuan pada saat diperlukan. Aktivitas belajar berpusat pada siswa, guru berfungsi sebagai fasilitator dan dinamisator.
Dalam pembelajaran kooperatif, Arends (1977: 11) menyatakan ada tiga tujuan utama yang
diharapkan dapat dicapai, yaitu:
1. Prestasi akademik
Pembelajaran kooperatif sangat menguntungkan baik bagi siswa berkemampuan tinggi maupun rendah. Khusus bagi siswa berkemampuan tinggi, mereka secara akademis akan mendapat keuntungan. Siswa dapat bertindak sebagai tutor yang memberi penjelasan kepada temannya. Agar dapat memberi penjelasan, siswa tersebut harus memahami materi lebih dalam dibanding sekedar kemampuan yang dibutuhkan untuk menjawab soal-soal. Dengan bertindak sebagai tutor, kemampuan verbal matematika siswa juga akan meningkat (Suherman, 2001: 220).
2. Penerimaan terhadap keanekaragaman
Heterogenitas yang ditonjolkan dalam pemilihan anggota kelompok akan mengarahkan siswa untuk mengakui dan menerima perbedaan yang ada diantara dirinya dan orang lain.
3. Pengembangan keterampilan sosial
Pembelajaran kooperatif bertujuan mengajarkan kepada siswa keterampilan-keterampilan kerjasama sebagai suatu tim. Keterampilan ini kelak akan sangat bermanfaat bagi siswa ketika mereka terjun di masyarakat.
Adapun keterampilan-keterampilan kooperatif dalam pembelajaran kooperatif, Lundgen (dalam Ratumanan, 2002: 111-113) menjelaskan rincian keterampilan-keterampilan kooperatif sebagai berikut:
a. Keterampilan-keterampilan kooperatif tingkat awal ada 13 butir, yaitu:
1) Menggunakan kesepakatan, yaitu menyamakan pendapat (opini).
2) Menghargai kontribusi, yaitu memperhatikan apa yang dikatakan atau dikerjakan oleh anggota lain dalam kelompok.
3) Menggunakan suara pelan, yaitu menggunakan suara pelan pelan sehingga tidak dapat didengar oleh meja lain (kelompok lain)
4) Mengambil giliran dan berbagi tugas, yaitu menggantikan teman dengan tugas tertentu dan tanggung jawab tertentu dalam kelompok
5) Berada dalam kelompok, yaitu tetap dalam kelompok kerja selama kegiatan berlangsung
6) Berada dalam tugas, yaitu tetap melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
7) Mendorong partisispasi, yaitu memotivasi semua anggota kelompok untuk memberikan kontribusi.
8) Mengundang orang lain untuk berbicara, yaitu meminta orang lain untuk berbicara dan berpartisipasi dalam tugas.
9) Menyelesaikan tugas tepat waktunya, yaitu menyelesaikan kegiatan sesuai dengan waktu yang direncanakan.
10) Menyebut nama dan memandang pembicara. Anggota kelompok merasa telah memberikan kontribusi penting ketika namanya disebut atau kontak mata terjadi.
11) Mengatasi gangguan, yaitu menghindari masalah yang dihasilkan dari adanya diversi atau kurangnya perhatian terhadap tugas.
12) Menolong tanpa menunjukkan jawaban, yaitu memberikan sejumlah bantuan tanpa menunjukkan penyelesaian.
13) Menghormati perbedaan individu, yaitu menghormati keunikan, pengalaman hidup, dan etnis dari semua siswa.
b. Keterampilan-keterampilan kooperatif tingkat menengah ada 12 butir, yaitu:
1) Menunjukkan penghargaan dan simpati, yaitu menunjukkan rasa hormat, pengertian, dan sensivitas terhadap opini (pendapat) yang berbeda.
2) Menggunakan pesan “saya”, yaitu menyatakan perasaan dengan menggunakan “saya” ketika berbicara. Sebagai contoh, katakan “saya tidak berfikir seperti itu” dari pada mengatakan “kamu salah”.
3) Mengungkapkan ketidak setujuan dengan cara yang dapat diterima, yaitu menyatakan opini atau jawaban yang berbeda dengan cara sopan dan sikap yang baik.
4) Mendengarkan dengan aktif, yaitu menggunakan pesan fisik atau verbal agar pembicara mengetahui bahwa anda secara energik menyerap informasi.
5) Bertanya, yaitu meminta atau menanyakan informasi atau klarifikasi lebih lanjut.
6) Membuat ringkasan, yaitu meringkas informasi.
7) Menafsirkan, yaitu menyampaikan kembali informasi dengan kalimat berbeda.
8) Mengatur dan mengorganisasikan, yaitu merencanakan dan menyusun pekerjaan sehingga dapat diselesaikan secara efektif dan efisien.
9) Memeriksa ketepatan, yaitu membandingkan jawaban, memastikan bahwa jawaban tersebut benar.
10) Menerima tanggung jawab, yaitu bersedia menuntaskan tugas-tugas dan kewajiban untuk diri sendiri dan kelompok.
11) Menggunakan kesabaran, yaitu bersikap toleransi, tetap pada pekerjaan dan bukan pada kesulitan-kesulitan, tidak membuat keputusan yang tergesa-gesa.
12) Tetap tenang/ mengurangi ketegangan, yaitu menciptakan suasana damai dalam kelompok.
c. Keterampilan-keterampilan kooperatif tingkat mahir ada 7 butir, yaitu:
1) Mengelaborasi, yaitu memperluas konsep, membuat kesimpulan dan menghubungkan pendapat-pendapat dengan topik tertentu.
2) Memeriksa dengan cermat (probing), yaitu menanyakan secara mendalam tentang suatu pokok pembicaraan untuk mendapatkan jawaban yang benar, misalkan dengan kata-kata “mengapa?” dan “dapatkah kamu berikan suatu contoh?”.
3) Menanyakan untuk justifikasi, yaitu menunjukkan bahwa jawaban benar atau memberikan alasan pada jawaban.
4) Menganjurkan suatu posisi, yaitu mengambil posisi dalam suatu masalah atau isu.
5) Menetapkan tujuan, yaitu menentukan prioritas-prioritas.
6) Berkompromi, yaitu menentukan isu-isu (pokok permasalahan) dengan persetujuan bersama. Kompromi membangun rasa hormat pada orang lain dan mengurangi konflik antar personal.
7) Menghadapi masalah khusus, yaitu menunjukkan masalah dengan memakai pesan “saya”, tidak menuduh, memanggil nama atau tidak menggunakan sindiran, menunjukkan bahwa hanya perilaku yang dapat di ubah bukan kegagalan atau ketidakmampuan pribadi, bertujuan untuk menyelesaikan masalah bukan memenangkan masalah.
Adapun semua keterampilan kooperatif tersebut (tidak langsung keseluruhan) dilatihkan dalam kegiatan pembelajaran, tetapi dapat dipilih sedikit demi sedikit yang dianggap sesuai dengan kepentingan hingga mencapai harapan dan seluruh keterampilan kooperatif yang ada.
Ada enam fase utama dalam pembelajaran kooperatif. Tabel 2.2 menyajikan fase pembelajaran kooperatif menurut Arends (1997: 113).
C. Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD (Student Team Achievement Division)
STAD merupakan salah satu model pembelajaran kooperatif yang paling sederhana. Sehingga model pembelajaran ini dapat digunakan oleh guru-guru yang baru memulai menggunakan pendekatan pembelajaran kooperatif. Perencanaan pembelajaran kooperatif tipe STAD disusun berdasarkan siklus yang tetap pada pengajarannya (Slavin, 2000: 269).
1. Siklus Pembelajaran Kooperatif tipe STAD
STAD terdiri dari siklus kegiatan pengajaran yang tetap sebagai berikut:
a. Mengajar : mempresentasikan pelajaran.
b. Belajar dalam tim: siswa bekerja di dalam tim mereka dengan menggunakan Lembar Kegiatan Siswa untuk menuntaskan materi pelajaran.
c. Tes: siswa mengerjakan kuis atau tugas lain secara individual.
d. Pengahargaan tim: skor tim dihitung berdasarkan skor peningkatan anggota tim, sertifikat, laporan berkala kelas, atau papan pengumuman digunakan untuk memberi penghargaan kepada tim yang berhasil mencetak skor tertinggi.
Pada dasarnya siklus pembelajaran kooperatif tipe STAD, mengacu pada sintaks pembelajaran kooperatif dengan menggabungkan fase 1 dan fase 2 ke dalam kegiatan mengajar, dan fase 3 dan fase 4 ke dalam kegiatan belajar dalam tim. Sedangkan fase 5 dan fase 6 pada pembelajaran kooperatif masuk pada kegiatan tes dan penghargaan kelompok pada pembelajaran kooperatif tipe STAD.
2. Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif tipe STAD
Slavin (dalam Nur, 1998: 24) menguraikan langkah-langkah mengantar siswa kepada STAD adalah sebagai berikut:
a. Bagilah siswa ke dalam kelompok masing-masing terdiri dari empat atau lima anggota. Pastikan bahwa kelompok yang terbentuk itu berimbang dalam hal kinerja akademik, jenis kelamin dan asal suku.
b. Buatlah Lembar Kegiatan Siswa (LKS) dan kuis pendek untuk pelajaran yang anda rencanakan untuk diajarkan.
c. Pada saat anda menjelaskan STAD kepada kelas anda, bacakan tugas-tugas yang harus dikerjakan tim.
d. Bila tiba saatnya memberikan kuis, bagikan kuis atau bentuk evaluasi yang lain, dan berikan waktu yang cukup untuk menyelesaikan tes itu.
e. Pengakuan kepada prestasi tim, segera setelah anda menghitung poin untuk siswa dan menhitung skor tim.
Adapun penerapan pembelajaran kooperatif tipe STAD menurut Slavin (1995), STAD terdiri dari lima komponen utama yaitu, presentasi kelas, kelompok, kuis (tes), skor peningkatan individual dan
penghargaan kelompok. Masing-masing komponen akan diuraikan sebagai berikut:
1. Presentasi Kelas
Materi dalam STAD disampaikan pada presentasi kelas. Presentasi kelas ini biasanya menggunakan pengajaran langsung (direct instruction) atau ceramah, dilakukan oleh guru. Presentasi kelas dapat pula menggunakan audiovisual. Presentasi kelas ini meliputi tiga komponen, yakni pendahuluan, pengembangan dan praktek terkendali.
2. Kelompok
Kelompok terbentuk terdiri dari empat atau lima siswa, dengan memperhatikan perbedaan kemampuan, jenis kelamin dan ras atau etnis. Fungsi utama kelompok adalah memastikan bahwa semua anggota kelompok terlibat dalam kegiatan belajar, dan lebih khusus adalah mempersiapkan anggota kelompok agar dapat menjawab kuis (tes) dengan baik. Termasuk belajar dalam kelompok adalah mendiskusikan masalah, membandingkan jawaban dan meluruskan jika ada anggota kelompok yang mengalami kesalahan konsep.
3. Kuis (tes)
Setelah beberapa periode presentasi kelas dan kerja kelompok, siswa diberikan kuis individual. Siswa tidak diperkenankan saling membantu pada saat kuis berlangsung.
4. Skor Peningkatan Individual
Penilaian kelompok berdasarkan skor peningkatan individu, sedangkan skor peningkatan tidak didasarkan pada skor mutlak siswa, tetapi berdasarkan pada seberapa jauh skor itu melampaui rata-rata skor sebelumnya. Setiap siswa dapat memberikan kontribusi poin maksimum pada kelompoknya dalam sistem skor kelompok. Siswa memperoleh skor untuk kelompoknya didasarkan pada skor kuis mereka melampaui skor dasar mereka.
5. Penghargaan Kelompok
Kelompok dapat memperoleh sertifikat atau hadiah jika rata-rata skornya melampaui kriteria tertentu.
Kegiatan pembelajaran dengan menggunakan model kooperatif tipe STAD pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan 5 fase, adapun fase-fase kegiatan itu sebagai berikut:
Fase 1
Menyampaikan indikator pencapaian hasil belajar dan memotivasi siswa. Guru menyampaikan indikator pencapaian hasil belajar yang ingin dicapai dalam materi pelajaran secara lisan dan memotivasi siswa untuk mempelajari materi yang diajarkan dan memberikan informasi keuntungan dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD secara lisan.
Fase 2
Menyajikan materi, guru menyampaikan dan menyajikan materi yang dipelajari secara klasikal yang terdapat di dalam lembar kegiatan siswa (LKS). Dan siswa diberikan kesempatan untuk menanyakan penjelasan guru apabila ada materi yang kurang dimengerti.
Fase 3:
Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok dan membimbing kelompok bekerja dan belajar. Adapun kegiatan-kegiatan dalam fase ini diantaranya adalah sebagai berikut:
Membentuk kelompok-kelompok kecil (terdiri 4 – 5 siswa) secara heterogen yang telah ditentukan oleh guru.Ø
Menginformasikan pada siswa untuk mengerjakan tugas secara berkelompok dan setiap anggota kelompok bertanggungjawab pada kelompok masing-masing dan terhadap diri sendiri.Ø
Menyuruh siswa mengerjakan soal dalam LKS secara berkelompok. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya siswa mengerjakan secara mandiri atau berpasangan dan selanjutnya dicocokkan dan didiskusikan ketepatan jawabannya dengan teman sekelompok. Dan jika ada anggota kelompok yang belum memahami, maka teman sekelompoknya yang sudah faham menjelaskan, sebelum meminta bantuan kepada guru.Ø
Selama siswa dalam kegiatan kelompok, guru bertindak sebagai fasilitator yang mengawasi dan mengamati setiap kegiatan kelompok.Ø
Menyuruh beberapa siswa untuk mempresentasikan hasil kerja kelompoknya dan kelompok yang lain menanggapi.Ø
Fase 4:
Penghargaan kelompok, penghargaan kelompok dilakukan dalam dua tahap perhitungan, yaitu:
1) Menghitung skor individu dan skor kelompok
Cara pemberian skor pada pembelajaran kooperatif tipe STAD sangat berperan untuk memotivasi siswa bekerja sama dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran yang diberikan. Setelah siswa mempelajari materi secara berkelompok, setiap siswa mengerjakan kuis secara individual dan memperoleh skor kuis serta nilai perkembangan. Nilai perkembangan bergantung pada kemajuan yang dicapai siswa dengan memperhatikan skor kuis atau skor dasar siswa. Skor dasar siswa adalah rata-rata skor siswa yang bersangkutan untuk kuis-kuis terdahulu, dengan syarat materi yang diujikan pada kuis-kuis tersebut masih berada dalam satu topik. Jika belum pernah diadakan kuis untuk topik tersebut, maka skor dasar siswa adalah skor tes awal.
Selanjutnya untuk menghitung skor kelompok, Slavin (1995: 80) mengungkapkan bahwa untuk menghitung skor kelompok, catatlah masing-masing poin kemajuan anggota kelompok di atas lembar rekapitulasi kelompok dan bagilah jumlah poin kemajuan anggota kelompok dengan banyak anggota kelompok yang hadir dan bulatkan pecahannya.
2) Menghargai prestasi kelompok
Kemudian berkaitan dengan banyaknya tingkat penghargaan kelompok, menurut Slavin (1995: 80) ada tiga tingkat penghargaan yang disediakan didasarkan pada skor rata-rata kelompok, seperti tertera pada tabel berikut.
D. Teori- teori yang Terkait dengan Pembelajaran Kooperatif tipe STAD
1. Teori Piaget
Menurut Piaget (dalam Dahar, 1989: 150), perkembangan intelektual didasarkan pada dua fungsi, yaitu organisasi dan adaptasi. Organisasi memberikan kemampuan untuk mensistematikkan atau mengorganisasikan proses-proses psikologis menjadi sitem-sistem yang teratur dan berhubungan. Setiap orang memiliki kecenderungan untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi pada lingkungannya. Cara adaptasi ini berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.
Adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses, yaitu asimilasi dan akomodasi. Menurut Piaget (dalam Hudojo, 1988: 47), asimilasi adalah proses mendapatkan informasi dan pengalaman baru yang langsung menyatu dengan struktur mental yang sudah dimiliki seseorang. Sedangkan akomodasi adalah proses menstrukturkan kembali mental sebagai akibat adanya informasi dan pengalaman baru tadi.
Andaikan dengan proses asimilasi tidak dapat mengadakan adaptasi pada lingkungannya, terjadilah ketidakseimbangan. Akibat ketidakseimbangan ini maka terjadilah akomodasi, dan struktur yang ada mengalami perubahan atau struktur baru timbul. Pertumbuhan intelektual merupakan proses terus-menerus tentang keadaan ketidakseimbangan dan keadaan seimbang. Tetapi, bila terjadi kembali keseimbangan maka individu itu berada pada tingkat intelektual yang lebih tinggi daripada sebelumnya. Jadi, adaptasi merupakan suatu keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi, dan inilah yang diterapkan di kelas.
Implikasi teori piaget (Slavin, 2000: 41) dalam pembelajaran adalah sebagai berikut:
a. Memusatkan perhatian kepada proses berfikir atau proses mental siswa, bukan kepada kebenaran jawaban siswa saja. Disamping kebenaran siswa, guru harus memahami proses yang digunakan anak sehingga sampai pada jawaban itu.
b. Mengutamakan peranan siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan belajar. Dalam kegiatan belajar di kelas, pengetahuan jadi tidak mendapat penekanan melainkan anak didorong menemukan sendiri melalui interaksi dengan lingkungannya.
c. Memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam kemajuan perkembangan kognitif siswa. Sehingga guru harus melakukan upaya untuk mengatur kegiatan kelas dalam bentuk individu-individu atau kelompok-kelompok kecil, atau bahkan secara klasikal.
Dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD pada fase tiga yaitu mengorganisasikan siswa dalam kelompok-kelompok belajar, salah satu syarat keanggotaan kelompok belajar adalah mempertimbangkan tingkat kepandaian anak, karena adanya perbedaan individu. Ini sesuai dengan teori Piaget bahwa adanya perbedaan individu dalam hal kemajuan urutan perkembangan yang sama, namun pertumbuhan itu berlangsung pada kecepatan yang berbeda. Sehingga hal ini perlu dipertimbangkan pada saat membentuk kelompok-kelompok belajar supaya menjadi heterogen.
Dalam kelompoknya siswa saling berdiskusi tentang masalah-masalah yang menjadi tugas kelompoknya masing-masing. Sesuai dengan teri Piaget pada fase tiga ini akan terjadi siswa harus berinteraksi dengan lingkungannya yaitu anggota kelompok, siswa akan aktif memanipulasi dan berusaha memecahkan masalah yang dihadapi. Guru membimbing kelompok-kelompok belajar yang mendapat kesulitan pada saat mereka mengerjakan tugas, sehingga siswa tetap termotivasi dan merasa mendapat dorongan untuk menemukan sendiri. Dengan demikian sumbangan penting dari teori piaget pada pembelajaran kooperatif tipe STAD ada pada kegiatan mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok dan membimbing kelompok belajar dan bekerja dalam tim (fase 3).
2. Teori Vigotsky
Menurut Slavin (dalam Nur, 1998: 3-5) teori Vigotsky menekankan pada empat prinsip utama dalam pembelajaran, yaitu (1) hakekat sosial dari pembelajaran (the sosiocultural nature of learning), (2) Zona perkembangan terdekat (zone of proximal development), (3) Pemagangan kognitif (cogitive appreticeship), (4) Scaffolding atau mediated learning.
1. Hakekat sosial dari pembelajaran
Vigotsky mengemukakan bahwa siswa belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya akan lebih mampu. Pada pembelajaran kooperatif, siswa dihadapkan pada proses berfikir teman sebaya mereka. Cara ini tidak hanya membuat hasil belajar mereka terbuka untuk seluruh siswa, tetapi juga membuat proses berfikir siswa lain terbuka untuk seluruh siswa.
2. Zona perkembangan terdekat
Vigotsky yakin bahwa pembelajaran akan berjalan dengan baik, apabila konsep yang dipelajari oleh siswa berada dalam zona perkembangan terdekat mereka. Siswa sedang bekerja di dalam zona perkembangan terdekat mereka selesaikan sendiri, tetapi dapat menyelesaikannya bila dibantu oleh teman sebaya mereka atau orang dewasa. Pada saat sedang bekerja bersama, kemungkinan sekali ada tingkat kinerja salah seorang anggota kelompok pada suatu tugas tertentu berada pada tingkat kognitif sedikit lebih tinggi dari tingkat kinerja anak tersebut, ini berarti tugas tersebut tepat berada di dalam zona perkembangan terdekat anak tersebut.
3. Pemagangan kognitif
Konsep pemagangan kognitif diturunkan dari teori Vigotsky yang menekankan pada hakekat sosial dari pembelajaran dan zona perkembangan terdekat. Pemagangan kognitif mengacu pada proses dimana seseorang yang sedang belajar secara tahap demi tahap memperoleh keahlian melalui interaksi dengan seorang pakar. Kemudian, yang dimaksudkan dengan seorang pakar adalah mereka dapat orang dewasa, atau kawan sebaya yang telah menguasai permasalahannya. Mengajar siswa di kelas merupakan suatu bentuk pemagangan. Dalam pembelajaran kooperatif dengan komposisi anggota kelompok yang heterogen, tentunya siswa yang lenih pandai dalam kelompoknya dapat merupakan pakar bagi teman-teman dalam kelompoknya.
4. Scaffolding atau mediated learning
Slavin (1994: 49) mengemukakan bahwa, “Scaffolding means providing a child with a great deal of support during the early stages of learning and then diminishing support and having the child take on increasing responsibiliy as soon as he or she is able”. Dengan demikian yang dimaksudkan dengan memberikan scaffolding adalah memberikan kepada siswa sejumlah bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengambil tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia mampu melakukan tugas tersebut secara mandiri.
Terdapat dua implikasi utama dari teori Vigotsky dalam pembelajaran yaitu sebagai berikut:
a) Menghendaki setting kelas berbentuk pembelajaran kooperatif, sehingga siswa dapat saling berinteraksi dalam mengerjakan tugas-tugas mereka yang sulit tetapi masih dalam zone proximal development mereka yaitu tingkat perkembangan sedikit di atas perkembangan siswa pada saat itu. Interaksi sosial ini akan mendorong terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual siswa. Dengan demikian masing-masing siswa dapat saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.
b) Pendekatan Vigotsky dalam pembelajaran menekankan scaffolding, dengan siswa semakin lama bertanggung jawab terhadap pembelajaran sendiri. Slavin, 2000: 46).
Dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD pada fase tiga yaitu mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar yang heterogen hal ini untuk membantu siswa memperoleh keahlian melalui interaksi dengan siswa lainnya yang lebih menguasai. Sesuai dengan teori Vigotsky yang pertama dan ketiga yaitu siswa belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya serta pemagangan kognitif, proses siswa secara bertahap memperoleh keahlian dalam interaksinya dengan seorang pakar, baik dengan orang dewasa maupun orang yang lebih tua atau teman sebaya yang lebih menguasai. Pada fase tiga dalam belajar kelompok, penugasan ini diberikan kepada siswa yang masih dalam proses berfikir yang sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki siswa untuk memperoleh penyelesaian dari tugas atau masalah. Hal ini sesuai dengan teori Vigotsky yang pertama, kedua dan keempat yaitu siswa belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya, siswa belajar paling baik bila berada pada zona perkembangan terdekat serta guru memberi bantuan kepada siswa yang kemudian mengurangi bantuannya secara sedikit demi sedikit sampai siswa dapat mengerjakan tugas secara mandiri.
E. Keunggulan dan Kekurangan Pembelajaran Kooperatif tipe STAD
Suatu strategi pambelajaran mempunyai keunggulan dan kekurangan. Demikian pula dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD. Pembelajaran kooperatif tipe STAD mempunyai beberapa keunggulan (Slavin, 1995:17) diantaranya sebagai berikut:
1. Siswa bekerja sama dalam mencapai tujuan dengan menjunjung tinggi norma-norma kelompok.
2. Siswa aktif membantu dan memotivasi semangat untuk berhasil bersama.
3. Aktif berperan sebagai tutor sebaya untuk lebih meningkatkan keberhasilan kelompok.
4. Interaksi antar siswa seiring dengan peningkatan kemampuan mereka dalam berpendapat.
Selain keunggulan tersebut pembelajaran kooperatif tipe STAD juga memiliki kekurangan-kekurangan, menurut Dess (1991:411) diantaranya sebagai berikut:
1. Membutuhkan waktu yang lebih lama untuk siswa sehingga sulit mencapai target kurikulum.
2. Membutuhkan waktu yang lebih lama untuk guru sehingga pada umumnya guru tidak mau menggunakan pembelajaran kooperatif.
3. Membutuhkan kemampuan khusus guru sehingga tidak semua guru dapat melakukan pembelajaran kooperatif.
4. Menuntut sifat tertentu dari siswa, misalnya sifat suka bekerja sama.
Kekurangan-kekurangan yang ada pada pembelajaran kooperatif masih dapat diatasi atau diminimalkan. Penggunaan waktu yang lebih lama dapat diatasi dengan menyediakan lembar kegiatan siswa (LKS) sehingga siswa dapat bekerja secara efektif dan efisien. Sedangkan pembentukan kelompok dan penataan ruang kelas sesuai kelompok yang ada dapat dilakukan sebelum kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Dengan demikian, dalam kegiatan pembelajaran tidak ada waktu yang terbuang untuk pembentukan kelompok dan penataan ruang kelas.
Pembelajaran kooperatif memang memerlukan kemampuan khusus guru, namun hal ini dapat diatasi dengan melakukan latihan terlebih dahulu. Sedangkan kekurangan-kekurangan yang terakhir dapat diatasi dengan memberikan pengertian kepada siswa bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu, siswa merasa perlu bekerja sama dan berlatih bekerja sama dalam belajar secara kooperatif.
DAFTAR PUSTAKA
Arends, Richard I. 1997. “Classroom Intruction and Management”. New York: ME Graw Hill Companies, Inc.
Arikunto, Suharsimi. 1999. “Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan”. (edisi revisi). Jakarta: Bumi Aksara.
Dees, Robert L. 1991. “The Role of Cooperative Learning in Increasing Problem Solving Ability in a College Remedial Course. Journal for Research in Mathematics Education.
Hudoyo, H. 1998. “Mengajar Belajar Matematika”. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.
---------, H. 1998. Pembelajaran Matematika menurut Pandangan Konstruktivis”. Malang: PPs IKIP Malang.
Ibrahim, M dkk. 2000. “Pembelajaran Kooperatif”. Surabaya: University Press.
Nur Muhammad, 1996. “Pembelajaran Kooperatif”. Surabaya: IKIP Surabaya University Press.
---------------------, 1998. “Pendekatan-pendekatan konstruktivisme dalam Pembelajaran IKIP Surabaya.
Post. Rh.R. 1992. “Theaching Mathematics in Grades K-8: Research-Based Methods. Massachussets: A Division of Simon & Schuster. Inc.
Russefendi. E.T. 1979. “Dasar-dasar Matematika Modern”. Bandung: Tarsito.
Ratumanan, Tanwey G. 2002. “Belajar dan Pembelajaran”. Surabaya: UNESA University Press.
Slameto. 1980. “Belajar dan Faktor-faktor yang mempengaruhinya”. Cetakan ke dua. Jakarta: Rineka Cipta.
Soedjadi, R. 2000. “Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia”. Jakarta: Depdikbud.
Slavin, Robert, E. 1994. “ Educational Psychology: Theory and Practice”. Massachussetts, Allyn and Bacon Publisher.
--------------------. 1995. “Cooperative Learning Theory and Practice”. Secon Edition. Massachussets: Allyn and Bacon Publisher.
--------------------. 2000. “Educational Psychology Theory and Practice”. Sixth Edition. Massachussets: Allyn and Bacon Publisher.
Suherman, Erman. 2001. “Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer”. Bandung: JICA – UPI.
Sumber : http://karmawati-yusuf.blogspot.com/2009/01/pembelajaran-matematika-dengan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar