Selasa, 26 Januari 2010

MENGATASI GROGI SAAT BICARA DI DEPAN PUBLIK

Seorang pecinta tulisan saya di sebuah rubrik koran lokal melontarkan

pertanyaan bagaimana mengatasi grogi pada saat bicara di depan umum

(publik)? Meski ia sudah mempersiapkannya sebaik mungkin tetap saja grogi.

Masalah grogi adalah masalah yang dialami oleh siapa saja yang sedang

belajar bicara di depan publik (selanjutnya saya sebut bicara). Keterampilan

ini adalah keterampilan proses, sebuah keterampilan yang tidak datang

seketika. Artinya, bila ingin mengusainya diperlukan banyak berlatih dan

berlatih.

Untuk mengupas masalah grogi dan cara mengatasinya saya akan menggunakan

dua pendekatan. Pendekatan pertama saya menggunakan pendekatan neurologis

yakni bagaimana pikiran kita mencerna "keberadaan publik" (audience); dan

pendekatan kedua adalah pendekatan praktis yakni bagaimana kiat-kiat praktis

menghadapi grogi.

Setidaknya, dua pendekatan itu sudah saya praktikkan dalam hidup saya. Saya

dulu yang pemalu luar biasa (bayangkan dulu saya tidak berani bilang "Kiri"

pada saat naik bus/angkutan umum. Takut/malu kalau banyak orang yang nengok

ke arah saya). Kini saya sudah terbiasa bicara di depan publik, bahkan

menjadi pembicara publik dan motivator yang dibayar.

Baik, selanjutnya saya jelaskan pendekatan pertama, kenapa secara neurologis

(syaraf otak) seseorang bisa menjadi grogi. Seseorang menjadi grogi atau

bahkan sebaliknya menjadi senang bila di depan pulik itu sangat tergantung

bagaimana syaraf otak merespon atau menanggapi sesuatu yang berada di luar,

yaitu --dalam hal ini-- audience (publik).

Perilaku (grogi, takut, senang dan lain-lain) merupakan hasil dari respon

pikiran kita. Kalau kita merespon/menanggapi sesuatu di luar adalah sesuatu

yang menakutkan, maka pikiran (syaraf) segera mengolahnya menjadi sebuah

ketakutan. Sebaliknya, kalau kita meresponnya sesuatu yang menyenangkan,

maka semua sel-sel dan jutaan syaraf segera mengolahnya menjadi hal yang

menyenangkan.

Lebih kongkritnya begini. Kalau Anda membayangkan jeruk nipis (sesuatu yang

berada di luar Anda) terasa kecut, maka syaraf otak segera membayangkannya

rasa kecut itu. Bahkan dengan hanya membayangkan saja air liur bisa keluar

sebagai respon terhadapnya.

Sebaliknya, kalau Anda membayang buah anggur yang segar, baru keluar dari

kulkas, syaraf otak segera membayangkannya buah manis yang menyegarkan.

Begitulah cara pikiran kita bekerja, atau meresponnya. Bila Anda

menanggapinya dengan negatif maka pikiran bekerja dengan cara negatif,

milyaran sel syaraf bekerja untuk memperkuat respon negatif Anda. Bila Anda

meresponnya dengan cara positif, maka seluruh jaringan syaraf bekerja sekuat

tenaga untuk memperkuat respon positif Anda.

Audience (publik) bukanlah buah jeruk nispis yang kecut atau buah anggur

yang manis menyegarkan. Audience adalah sesutau yang netral sifatnya.

"Manis" dan "kecut"-nya, arau "menakutkan" (yang membuat Anda grogi) atau

"menyenangkan" sangat tergantung bagaimana Anda meresponnya.

Ketika Anda meresponnya sebagai seuatu yang "menakutkan" syaraf otak segera

bekerja dengan cara yang negatif. Hasilnya mejadi negatif.

Syaraf otak segera bekerja untuk menemukan sejumlah alasan negatif untuk

meyakinkan bahwa audience itu "menakutkan".

Alasan-alasan yang ditemukan oleh pikiran negatif berupa: 1) audience

terlalu banyak dan banyak orang yang sudah pintar bicara, maka saya kurang

pede; 2) audience akan meneriaki "huuuuuuu..?" bila saya salah; 3) audience

akan mempergunjingkan saya bila saya salah;

4) saya akan malu bila apa yang saya sampaikan tidak menarik; 5) saya akan

malu bila saya salah dalam bicara nanti dan; 6) masih banyak alasan negatif

yang mengantarkan Anda menjadi semakin tidak percaya diri atau grogi.

Hasilnya, keringat dingin keluar, gemetar, bicara tidak lancar dan

salah-salah terus selama bicara. Pada saat seperti itu, pikiran sibuk

memikirkan audience yang "menakutkan"

ketimbang memimikirkan materi yang sedang di sampaikan.

Akan menjadi berbeda hasilnya bila Anda meresponnya secara positif.

Pikran Anda akan segera mencarikan sejumlah alasan positif yang menguatkan

Anda tampil lebih percaya diri.

Anda akan tampil lebih percaya diri bila memandang audience sebagai:

1) sekelompok manusia yang sedang memberikan kesempatan baik pada Anda untuk

bicara; 2) mereka tidak akan menghukum bila Anda keliru;

3) keliru dalam berlatih bicara adalah hal yang wajar yang dialami oleh

setiap orang; 4) mereka juga belum tentu memiliki keberanian untuk bicara;

5) kalau pun ia diberi kesempatan bicara ia pasti melakukan kesalahan

seperti Anda; 6) dalam sejarah belum ada audience yang "mencemooh" pembicara

bila dalam menyampaikannya secara santun dan; 7) ini adalah kesempatan

terbaik untuk berlatih bicara.

Dengan kata lain, audiene bukan menjadi beban pikiran selama Anda bicara.

Bila perlu Anda cuek-bebek (tapi sopan) selama bicara.

Ketika Anda telah mengusai audience dengan cara respon positif seperti

tersebut di atas, pikiran Anda tinggal fokus pada materi.

Perlu dicatat bahwa mengapa seorang pembicara grogi karena pikirannya selama

bicara sibuk memikirkan audiencenya yang dianggap "menakutkan". Menakutkan

atau tidaknya sangat tergantung bagaimana pikiran kita "menafsirkannya".

Bila menafsirkannya sebagai hal yang tidak menakutkan, maka pikiran akan

lancar, fokus pada topik, bicara pun lancar tanpa beban grogi.

Semua yang saya jelaskan di atas adalah mengunakan pendekatan neurologis.

Selanjutnya saya menggunakan pendekatan praktis dalam mengatasi grogi.

Sebelum saya memberikan tips bagaimana cara mengatsi grogi saat pidato perlu

saya ingatkan kembali bahwa keterampilan bicara

(pidato) adalah keterampilan proses. Tidak ada orang yang langsung menjadi

ahli bicara. Semuanya diawali dari, malu, gemetar dengan keringat dingin,

grogi dan sejuta rasa lainnya. Jangankan bagi yang belum pernah pengalaman,

seorang yang sudah pengalaman pun kadang- kadang masih dihinggapi rasa

kurang pede dan grogi. Jadi kalau menuggu sampai tidak ada rasa grogi,

dibutuhkan waktu dan jam terbang yang lama. Butuh proses.

Cara-cara berikut ini adalah cara praktis yang saya gunakan bagaimana

mengatasi grogi.

Pertama, tingkatkan rasa percaya diri (pede). Kalau kita pede, keberanian

meningkat, tetapi kalau belum apa-apa sudah takut dulu, rasa pede mengecil.

Akibatnya sudah grogi dulu sebelum bicara. Untuk bisa meningkatkan rasa

pede, coba sebelum Anda bicara, Anda membayang seorang tokoh pintar bicara

yang menjadi idola Anda.

Setelah membayangkan secara jelas, anggap saja dia merasuk dalam jiwa Anda

yang membantu Anda pada saat bicara. Anggap saja dia yang bicara, tapi bukan

Anda.

Kedua, berani bicara kapan dan dimana saja bila ada kesempatan tampil di

depan umum. Jangan takut salah dan takut ditertawakan, bicara dan bicaralah.

Kalau Anda tidak pernah mencobanya, maka tidak pernah punya pengalaman.

Jangan berpikir, benar-salah, bagus-tidak, mutu-tidak, selama bicara.

Pokoknya, Anda sedang uji nyali, berani atau tidak. Ketika Anda berani

mencobanya, berarti nyali Anda hebat.

Semakin sering Anda lakukan, semakin kuat nyalinya dan tidak takut lagi.

Pokoknya Anda harus berani malu.

Ketiga, mulailah dari kelompok kecil. Berlatihlah bicara pada

kelompok-kelompok kecil dulu seperti karang taruna, kelompok belajar,

pertemuan RT/RW. Bicaralah sebisanya dan jangan buang kesempatan. Yang

seperti ini sudah saya lakukan, saya mulai dari kelompok belajar, panitia

seminar, dan acara-acara pengajian. Lama- ama saya biasa. Ingat Anda bisa

karena biasa.

Keempat, tulis dulu sebagai persiapan. Sebelum bicara, alangkah baiknya

ditulis dulu topik dan urutan penyampaiannya. Sebab, tanpa ditulis dulu,

biasanya lupa saat bicara dan menjadikan materinya tidak runtut. Ada dua

cara dalam menulis, menulis lengkap kenudian tinggal membaca atau tulis

pokok-pokonya saja. Bila Anda menulis lengkap akan sangat membantu Anda

bicara, tetapi keburukannya membosankan. Apalagi intonasi bacanya jelek.

Yang baik adalah pokok- pokok saja, kemudian Anda menguraiakannya saat

bicara, tetapi keburukannya, Anda bisa lupa tentang datailnya.

Kelima, akan lebih baik kalau memiliki kebiasaan menulis. Menulis apa saja,

cerita, artikel, surat atau catatan harian. Catatan harian akan sangat

membantu. Kenapa menulis? Karena dengan menulis adalah cara efektif untuk

membuat sebuah "bangunan logika", sebuah bangunan yang masuk akal. Bila Anda

terbiasa menuliskan topik-topik yang masuk akal, maka akan membantu pada

saat bicara. Tinggal memanggil ulang saja.

Keenam, perbanyak membaca. Orang bicara atau menulis, tidak lepas dari

kegiatan membaca. Dengan banyak membaca menjadi banyak pengetetahuan yang

dapat dijadikan acuan pada saat bicara atau menulis. Kebuntuan dalam bicara

terjadi karena tidak saja grogi tetepi juga karena terbatasnya acuan

(informasi) yang dimilikinya.

Ketujuh, janganlah menjadi pendiam saat ada diskusi atau debat.

Bicaralah, jangan pikirkan Anda menang atau kalah dalam berdebat, tetapi

jadikannlah media debat menjadi media pembelajaran dalam mengasah

keterampilan bicara. Juga, biasakanlah berdsiskusi, jangan hanya menjadi

pendengar yang baik (diam saja) tapi Anda harus menjadi pembicara yang baik.

Kedelapan, rajin mengevaluasi diri sehabis bicara. Karena berbicara

merupakan keterampilan proses, maka sebaiknya rajin mengevaluasi diri setiap

saat sehabis bicara. Seringkali (pengalaman saya) saya merasa tidak puas

dengan hasil akhir bicara. Selalu ada saja kekurangannya, banyak topik yang

lupa tidak tersampaikan. Kekurangan ini harus menjadi catatan untuk tampil

lebih baik pada kesempatan mendatang.

Kesembilan, komitmen untuk terus berlatih. Tiada sukses tanpa latihan

terus menerus. Tiada juara tanpa banyak latihan. Tiada bicara tanpa grogi

bila hanya tampil (berlatih) satu atau dua kali saja. Bicaralah saat ada

kesempatan bicara, karena keterampilan berbicara hanya dapat diperoleh

dengan "berbicara" bukan dengan cara "belajar tentang". Satu ons praktik

bicara lebih baik dari pada satu ton teori berbicara. Selamat mencoba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar